"Masa sih, kamu nggak percaya sama aku?" Laras bertanya balik.
Sarah tersenyum datar, sambil mendekatkan diri pada sahabatnya itu. Ia benar-benar dapat merasakan risau yang sedang mengakrabi kehidupan Laras.
"Laras, pokoknya aku tidak setuju," ujarnya sambil menatap sahabatnya itu penuh dengan rasa khawatir.
"Kamu bisa aja...," Laras melepaskan tangan Sarah yang sejak tadi melingkar dipinggangnya. Kemudian mendekati jendela ruang kerjanya. Tatapannya menembus kaca dan tertuju pada hingar-bingar jalan raya. Ingin rasanya dapat berbaur di sana, melupakan sejenak rasa jenuh yang telah memenuhi pikirannya.
Laras sendiri tak memungkiri. Apa yang dikhawatirkan Sarah sangat beralasan, sebab ia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya untuk pergi ke kota lain. Dia hanya berharap, dengan pergi dari rutinitasnya saat ini, mungkin dapat menghapus rasa jenuh yang kian hari semakin menggunung memenuhi pikiran, serta hatinya yang paling dalam.
Satu minggu setelah mereka berdua berdebat. Sosok misterius hadir di toko kuenya. Meskipun Laras tidak terlalu perduli dengan sosok tersebut, namun tanpa ia sadari telah membuatnya lupa tentang rencana pindah ke kota lain.
 "Ehem..., melamun lagi..." Ingatan Laras buyar seketika.
Laras mengangkat wajah, ingin tahu pemilik suara asing tersebut. Alamak! Sosok misterius telah berdiri tepat dihadapannya sambil menyeruput kopi hangat dari gelas yang digenggam.
 "Nggak, kerja?" Tanya Laras asal-asalan.
"Maunya sih pengen kerja kantoran, tapi nggak suka dengan jam kerja yang sangat mengikat," jelas sosok misterius.
"Nggak adalah kantor seperti itu," sambung Laras menanggapi.