Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengurai Makna Kata Palango pada Bahasa Jawa Dialek Pekalongan

30 Juni 2024   03:51 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:20 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Euforia akhir pekan masyarakat Pekalongan (sumber gambar: dokumen pribadi)

Telinga orang Pekalongan tentu tak asing dengan kata "palango". Dalam ujaran sehari-hari, kata ini kerap diucapkan komunikator (penyampai pesan) untuk memberi peringatan kepada komunikan (penerima pesan) yang akan melakukan suatu tindakan. Entah mau pergi ke rumah teman, ke pasar, berangkat sekolah/kampus, menghadiri acara, dll.

Contoh:

Langité mêndhung, payungé palango gawa
Langit mendung, payungnya jangan lupa dibawa

Lawangé sakpalango disosi, mbokan klayah
Pintunya dikunci, siapa tahu ketiduran

Mangkaté palango digasiki, mbokan macèt dalan
Berangkatlah lebih awal, siapa tahu jalan macet

Pada konteks lain, kata "palango" juga dapat dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah nasihat. Akan tetapi, nasihat yang disampaikan lebih mengarah pada sesuatu yang jauh di masa depan. Dengan begitu, kata "palango" boleh dibilang sebagai ungkapan yang visioner.

Contoh:

Palango luru sangu sing akèh sakdurungé ndéhwé mulih ning ngarsané Gusti Allah
Carilah bekal sebanyak mungkin sebelum kita pulang ke rahmatullah

Ngajiné palango disrêgêpké manèh bèn kêna nggo sangu ning akhèrat
Tingkatkan lagi ngajinya untuk bekal kelak di akhirat

Tapi, tahukah Anda darimana asal-usul kata "palango"?

Dari aspek bahasa, "palango" terbentuk dari kata (dalam bahasa Jawa disebut tembung) "palang" yang diberi akhiran/sufiks (dalam bahasa Jawa disebut panambang) "-o". Bentuk kata "palango" juga dapat dikategorikan sebagai gabungan kata. Tepatnya, gabungan kata terikat. Mengapa bisa begitu? Karena dua unsur pembentuknya memiliki kelas kata yang berbeda. "Palang" merupakan kata (tembung). Sementara "-o" merupakan partikel atau akhiran/sufiks (panambang).

Dalam bahasa Jawa subdialek Pekalongan, kata "palang" memiliki makna palang, kayu/logam yang disilangkan, kayu/logam yang ditempatkan secara melintang di jalan/pintu (biasanya digunakan untuk menutup/merintangi jalan/pintu/jendela), penghalang, atau salib. Mendasarkan pada makna kata tersebut, jelas jika kata "palang" merupakan kata benda/nomina (dalam bahasa Jawa disebut tembung aran).

Sedang, akhiran/sufiks (panambang) atau partikel "-o", secara leksikal tidak memiliki makna. Akan tetapi, secara gramatikal (paramasastra Jawa), ia baru memiliki makna ketika disandingkan dengan kata dasar (tembung lingga). Kata dasar tersebut bisa berupa kata benda/nomina (tembung aran) atau kata kerja/verba (tembung kriya). Namun uniknya, dalam bahasa Jawa khas Pekalongan, partikel "-o" kerap dilekatkan pula pada partikel lain.

Pada kasus kata "palango", akhiran/sufiks (panambang) "-o" mengubah kelas kata dari kata dasarnya. Sebelum mendapatkan akhiran "-o" kata "palang" merupakan kata benda. Akan tetapi, ketika mendapatkan akhiran "-o" kelas kata "palang" berubah menjadi kata kerja. Lebih tepatnya, kata kerja imperatif (kata kerja yang digunakan untuk memberi perintah, larangan, atau keharusan kepada lawan bicara). Dalam istilah bahasa Jawa kata kerja imperatif disebut pula tembung pakon. Jenis kata ini tidak memerlukan subjek. Namun, memiliki makna yang dapat dipahami oleh lawan bicara.

Lalu, apa makna kata "palango"

Pemaknaan kata "palango" dalam ujaran bahasa Jawa subdialek Pekalongan tidak dimaknai secara tekstual. Yaitu, sebuah perintah/anjuran/seruan untuk memasang palang atau membuat palang. Makna kata "palango" dalam ujaran sehari-hari cenderung diasosiasikan atau dikontekstualkan. Objek acuan kata tersebut, yaitu palang, hanya digunakan secara simbolik. Tak pelak jika makna yang dihasilkan melampaui objek benda---dalam hal ini palang---yang diacu.

Untuk memeriksa hal tersebut, perlu kiranya saya gunakan hukum linguistik cetusan Ferdinand de Saussure tentang petanda (Signifié) dan penanda (Signifiant). Seperti telah diungkap sebelumnya, unsur induk dari kata "palango" adalah kata "palang". Penanda (Signifiant) dari palang adalah objek benda yang berbentuk palang. Sementara sebagai petanda (Signifié), palang dimaknai sebagai dua batang kayu/logam besi yang disilangkan yang digunakan untuk menutup/merintangi jalan, pintu, atau jendela.

Berdasar pada penjelasan tersebut, maka penanda (Signifiant) dari kata "palango" adalah perintah/anjuran/seruan untuk memasang objek benda yang berbentuk palang. Sedang petanda (Signifié) dari "palango", semestinya adalah perintah/anjuran/seruan untuk menutup/merintangi jalan, pintu, atau jendela menggunakan objek benda yang berbentuk palang. Faktanya, tidak demikian.

Jika demikian, tidak cukup rasanya memahami proses pemberian makna kata "palango" hanya dengan menggunakan konsep Signifié dan Signifiant. Kita perlu menggunakan konsep Langue dan Parole. Langue adalah sistem abstrak dari sebuah bahasa. Terdiri atas aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang mengatur penggunaan bahasa, sehingga susunan kalimat memiliki makna. Sedang parole merupakan penggunaan konkret dari langue. Termasuk di dalamnya ucapan dan tindakan yang dilakukan individu-individu dalam interaksi sosial. Sederhananya, langue adalah sistem bahasa. Sedang, parole adalah ujaran.

Dalam hal ini, de Saussure berupaya memperlihatkan perbedaan antara langue dan parole. Akan tetapi, oleh de Saussure, keduanya tidak bisa dipisahkan begitu saja. Sebab, melalui keduanya pula keunikan sebuah ujaran dapat ditemukan. Dari keunikan ujaran tersebut dapat dirumuskan pula sistem bahasa yang berlaku pada sebuah masyarakat penutur bahasa.

Seperti disinggung sebelumnya, makna kata "palango" dalam ujaran sehari-hari masyarakat Pekalongan tidak dapat dikategorikan sebagai makna dasar (makna asasi). Alias tidak mengacu langsung pada objek benda yang dimaksud, yaitu palang. Akan tetapi, acuan yang digunakan lebih pada fungsi palang sebagai penghalang.

Kendati demikian, rupa-rupanya hal tersebut belum cukup mewakili makna yang dimaksud. Sebab, makna penghalang cenderung represif. Sehingga, konotasi dari kata "palango" cenderung represif pula. Yaitu, perintah untuk menghalang-halangi. Faktanya, makna ujaran "palango" justru cenderung mengarahkan pada tindakan prefentif. Yaitu, sebagai peringatan untuk bertindak hati-hati. Perubahan makna itu menandakan terjadinya proses penghalusan makna (eufimia) pada kata "palango".

Dapat kita ketahui sudah, bahwa sistem bahasa (langue) masyarakat penutur bahasa Jawa subdialek Pekalongan cenderung sederhana. Mereka cenderung menggunakan kata-kata yang tidak rumit. Akan tetapi, sebagai di dalam pengucapannya (parole), makna kata yang sederhana itu mengalami proses pemaknaan yang berlapis-lapis. Sebagaimana terjadi pada kata "palango" yang tidak dimaknai secara denotatif. Hanya, pada proses menemukan makna konotatifnya diperlukan upaya serius untuk mengetahui sejauh mana eufimia terjadi.

Peristiwa kebahasaan ini sekaligus menandai berlakunya relasi sinkronik dan diakronik, sebagaimana yang diajukan Ferdinand de Saussure. Dari aspek relasi sinkronik, makna kata "palango" dalam bentuk parole (ujaran) sehari-hari pada bahasa Jawa subdialek Pekalongan seakan-akan menunjukkan keterputusan historis dari makna asalinya. Seolah-olah terjadi penyimpangan makna dari makna asasinya. Akan tetapi, dalam kajian diakronik, pemaknaan yang paling akhir dan disepakati oleh masyarakat penuturnya, makna kata "palango" rupanya memiliki proses panjang, dengan menarik sampai pada pangkalnya. Yaitu, kata yang diacu.

Agaknya, perlu pula diungkap bagaimana relasi makna yang terbangun melalui pendekatan sintagmatik dan paradigmatik ala de Saussure tentang kata "palango" ini. Setidaknya, agar kita juga menemukan gambaran mengenai kesederhanaan bahasa yang digunakan masyarakat Pekalongan dalam menyampaikan pesan-pesan yang dianggap penting.

Untuk mengujinya, melalui relasi makna sintagmatik, kita bisa saja mengganti kata "palang" dengan kata benda lain. Misal, kata "dadah" yang maknanya pagar. Fungsinya juga nyaris sama, yaitu untuk menghalangi atau menjadi pembatas. Lalu, mari kita gunakan kata "dadah" dalam kalimat berikut:

Langité mêndhung, payungé palango gawa
Langité mêndhung, payungé dadaho gawa

Apa makna yang dapat dihasilkan dari kalimat kedua? Tidak ada. Artinya, kata "palango" tidak dapat dipertukarkan dengan kata lain. Lain halnya jika pertukaran kata tersebut pada kata "payung". Namun begitu, kata "dadah" dapat dimaknai serupa dengan "palango" dalam bentuk ujaran lain. Seperti, "dadahana awakmu nganggo payung, kaé langité wis mndhung". Hanya, ujaran tersebut terlalu kompleks. Bahkan, tidak lazim bagi pengucapan sehari-hari masyarakat Pekalongan.

Dari sini dapat kita pahami, bahwa dalam keseharian, masyarakat Pekalongan memiliki pola tuturan yang cenderung sederhana tetapi mengena. Tuturan itu tidak berupa pola kalimat yang kompleks sebagaimana pada contoh "dadahana awakmu nganggo payung, kaé langité wis mêndhung". Kendati demikian, kesederhanaan ujaran itu justru memperlihatkan bahwa dalam berkomunikasi, masyarakat Pekalongan memiliki kecenderungan untuk menggnakan ujaran yang efektif. Melalui cara itu pula, dapat kita lihat betapa bahasa Jawa subdialek Pekalongan cenderung mengedepankan sisi kepraktisan. Dengan kata lain, masyarakat Pekalongan cenderung memiliki paradigma yang praktis pula.

Dari kata "palango" pula kita pada akhirnya bisa membaca, bahwa di balik kepraktisan bahasa itu, tersirat pula cara pandang masyarakat Pekalongan yang cenderung praktis pula. Hal ini didukung pula dengan karakter wilayahnya yang merupakan kawasan pesisir Jawa. Dalam sejarahnya, kawasan ini merupakan kawasan perlintasan jalur perdagangan. Sehingga, budaya yang terbentuk pun merupakan budaya perniagaan yang lebih menonjolkan kepraktisan. Sebab, dinamika budaya yang terjadi di kawasan ini cenderung bergerak cepat dibandingkan dengan kawasan pedalaman.

Dinamika budaya yang bergerak cepat ini pada gilirannya mendorong perilaku budaya masyarakatnya cenderung lebih kompetitif. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan untuk dapat selekas mungkin beradaptasi dengan keadaan. Kemampuan ini menjadi pilihan sikap mereka di dalam mengantisipasi segala bentuk gangguan dan ancaman.

Di sisi lain, pada aspek ekologis, kemampuan adaptasi yang menjadi bekal dalam mengantisipasi segala kejadian yang menimpa juga merupakan sebuah cara yang mereka gunakan di dalam bertahan hidup. Terutama, setelah mereka menyadari betul bahwa lingkungan tempat mereka tinggal---sekalipun cukup menjanjikan secara ekonomi---menyimpan beragam potensi negatif. Wilayah ini merupakan langganan banjir.

Ditilik dari aspek ekologis tersebut, bisa dikatakan pula jika ungkapan "palango" merupakan sebuah ungkapan yang secara semiotik menandakan pewarisan kecerdasan ekologis yang telah terjadi secara turun-temurun pada masyarakat Pekalongan. Terutama, dalam mengantisipasi segala bentuk ancaman yang dapat mencelakai diri. Masyarakat Pekalongan memiliki sikap yang senantiasa siaga, sebab bisa jadi mereka sesungguhnya menyadari jika tempat huni mereka rawan bencana. Dengan begitu pula, masyarakat Pekalongan memiliki sikap yang rendah hati, karena menyadari bahwa segala yang terjadi di alam semesta berjalan sesuai kehendak Tuhan.

Jika begitu, kata "palango" boleh jadi semacam mantra dari para pendahulu. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman dan pertumbuhan wilayah ini, mantra itu mungkin saja masih kerap diucapkan. Hanya, makna tersirat dari mantra itu mungkin saja mulai terlupakan. Sehingga, "palango" hanya menjadi ucapan yang maknanya mengalami penyempitan. Hanya pada persoalan-persoalan kecil dan tidak dimaknai secara mendalam dan meluas ke dalam berbagai aspek kehidupan. Utamanya, dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan sekitar, demi menjaga keselamatan dan menciptakan kebahagiaan yang hakiki.

Sebuah kajian bahasa yang dipersembahkan untuk Sogan Institute 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun