Dalam bahasa Jawa subdialek Pekalongan, kata "palang" memiliki makna palang, kayu/logam yang disilangkan, kayu/logam yang ditempatkan secara melintang di jalan/pintu (biasanya digunakan untuk menutup/merintangi jalan/pintu/jendela), penghalang, atau salib. Mendasarkan pada makna kata tersebut, jelas jika kata "palang" merupakan kata benda/nomina (dalam bahasa Jawa disebut tembung aran).
Sedang, akhiran/sufiks (panambang) atau partikel "-o", secara leksikal tidak memiliki makna. Akan tetapi, secara gramatikal (paramasastra Jawa), ia baru memiliki makna ketika disandingkan dengan kata dasar (tembung lingga). Kata dasar tersebut bisa berupa kata benda/nomina (tembung aran) atau kata kerja/verba (tembung kriya). Namun uniknya, dalam bahasa Jawa khas Pekalongan, partikel "-o" kerap dilekatkan pula pada partikel lain.
Pada kasus kata "palango", akhiran/sufiks (panambang) "-o" mengubah kelas kata dari kata dasarnya. Sebelum mendapatkan akhiran "-o" kata "palang" merupakan kata benda. Akan tetapi, ketika mendapatkan akhiran "-o" kelas kata "palang" berubah menjadi kata kerja. Lebih tepatnya, kata kerja imperatif (kata kerja yang digunakan untuk memberi perintah, larangan, atau keharusan kepada lawan bicara). Dalam istilah bahasa Jawa kata kerja imperatif disebut pula tembung pakon. Jenis kata ini tidak memerlukan subjek. Namun, memiliki makna yang dapat dipahami oleh lawan bicara.
Lalu, apa makna kata "palango"
Pemaknaan kata "palango" dalam ujaran bahasa Jawa subdialek Pekalongan tidak dimaknai secara tekstual. Yaitu, sebuah perintah/anjuran/seruan untuk memasang palang atau membuat palang. Makna kata "palango" dalam ujaran sehari-hari cenderung diasosiasikan atau dikontekstualkan. Objek acuan kata tersebut, yaitu palang, hanya digunakan secara simbolik. Tak pelak jika makna yang dihasilkan melampaui objek benda---dalam hal ini palang---yang diacu.
Untuk memeriksa hal tersebut, perlu kiranya saya gunakan hukum linguistik cetusan Ferdinand de Saussure tentang petanda (Signifié) dan penanda (Signifiant). Seperti telah diungkap sebelumnya, unsur induk dari kata "palango" adalah kata "palang". Penanda (Signifiant) dari palang adalah objek benda yang berbentuk palang. Sementara sebagai petanda (Signifié), palang dimaknai sebagai dua batang kayu/logam besi yang disilangkan yang digunakan untuk menutup/merintangi jalan, pintu, atau jendela.
Berdasar pada penjelasan tersebut, maka penanda (Signifiant) dari kata "palango" adalah perintah/anjuran/seruan untuk memasang objek benda yang berbentuk palang. Sedang petanda (Signifié) dari "palango", semestinya adalah perintah/anjuran/seruan untuk menutup/merintangi jalan, pintu, atau jendela menggunakan objek benda yang berbentuk palang. Faktanya, tidak demikian.
Jika demikian, tidak cukup rasanya memahami proses pemberian makna kata "palango" hanya dengan menggunakan konsep Signifié dan Signifiant. Kita perlu menggunakan konsep Langue dan Parole. Langue adalah sistem abstrak dari sebuah bahasa. Terdiri atas aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang mengatur penggunaan bahasa, sehingga susunan kalimat memiliki makna. Sedang parole merupakan penggunaan konkret dari langue. Termasuk di dalamnya ucapan dan tindakan yang dilakukan individu-individu dalam interaksi sosial. Sederhananya, langue adalah sistem bahasa. Sedang, parole adalah ujaran.
Dalam hal ini, de Saussure berupaya memperlihatkan perbedaan antara langue dan parole. Akan tetapi, oleh de Saussure, keduanya tidak bisa dipisahkan begitu saja. Sebab, melalui keduanya pula keunikan sebuah ujaran dapat ditemukan. Dari keunikan ujaran tersebut dapat dirumuskan pula sistem bahasa yang berlaku pada sebuah masyarakat penutur bahasa.
Seperti disinggung sebelumnya, makna kata "palango" dalam ujaran sehari-hari masyarakat Pekalongan tidak dapat dikategorikan sebagai makna dasar (makna asasi). Alias tidak mengacu langsung pada objek benda yang dimaksud, yaitu palang. Akan tetapi, acuan yang digunakan lebih pada fungsi palang sebagai penghalang.
Kendati demikian, rupa-rupanya hal tersebut belum cukup mewakili makna yang dimaksud. Sebab, makna penghalang cenderung represif. Sehingga, konotasi dari kata "palango" cenderung represif pula. Yaitu, perintah untuk menghalang-halangi. Faktanya, makna ujaran "palango" justru cenderung mengarahkan pada tindakan prefentif. Yaitu, sebagai peringatan untuk bertindak hati-hati. Perubahan makna itu menandakan terjadinya proses penghalusan makna (eufimia) pada kata "palango".