Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengurai Makna Kata Palango pada Bahasa Jawa Dialek Pekalongan

30 Juni 2024   03:51 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:20 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Euforia akhir pekan masyarakat Pekalongan (sumber gambar: dokumen pribadi)

Dapat kita ketahui sudah, bahwa sistem bahasa (langue) masyarakat penutur bahasa Jawa subdialek Pekalongan cenderung sederhana. Mereka cenderung menggunakan kata-kata yang tidak rumit. Akan tetapi, sebagai di dalam pengucapannya (parole), makna kata yang sederhana itu mengalami proses pemaknaan yang berlapis-lapis. Sebagaimana terjadi pada kata "palango" yang tidak dimaknai secara denotatif. Hanya, pada proses menemukan makna konotatifnya diperlukan upaya serius untuk mengetahui sejauh mana eufimia terjadi.

Peristiwa kebahasaan ini sekaligus menandai berlakunya relasi sinkronik dan diakronik, sebagaimana yang diajukan Ferdinand de Saussure. Dari aspek relasi sinkronik, makna kata "palango" dalam bentuk parole (ujaran) sehari-hari pada bahasa Jawa subdialek Pekalongan seakan-akan menunjukkan keterputusan historis dari makna asalinya. Seolah-olah terjadi penyimpangan makna dari makna asasinya. Akan tetapi, dalam kajian diakronik, pemaknaan yang paling akhir dan disepakati oleh masyarakat penuturnya, makna kata "palango" rupanya memiliki proses panjang, dengan menarik sampai pada pangkalnya. Yaitu, kata yang diacu.

Agaknya, perlu pula diungkap bagaimana relasi makna yang terbangun melalui pendekatan sintagmatik dan paradigmatik ala de Saussure tentang kata "palango" ini. Setidaknya, agar kita juga menemukan gambaran mengenai kesederhanaan bahasa yang digunakan masyarakat Pekalongan dalam menyampaikan pesan-pesan yang dianggap penting.

Untuk mengujinya, melalui relasi makna sintagmatik, kita bisa saja mengganti kata "palang" dengan kata benda lain. Misal, kata "dadah" yang maknanya pagar. Fungsinya juga nyaris sama, yaitu untuk menghalangi atau menjadi pembatas. Lalu, mari kita gunakan kata "dadah" dalam kalimat berikut:

Langité mêndhung, payungé palango gawa
Langité mêndhung, payungé dadaho gawa

Apa makna yang dapat dihasilkan dari kalimat kedua? Tidak ada. Artinya, kata "palango" tidak dapat dipertukarkan dengan kata lain. Lain halnya jika pertukaran kata tersebut pada kata "payung". Namun begitu, kata "dadah" dapat dimaknai serupa dengan "palango" dalam bentuk ujaran lain. Seperti, "dadahana awakmu nganggo payung, kaé langité wis mndhung". Hanya, ujaran tersebut terlalu kompleks. Bahkan, tidak lazim bagi pengucapan sehari-hari masyarakat Pekalongan.

Dari sini dapat kita pahami, bahwa dalam keseharian, masyarakat Pekalongan memiliki pola tuturan yang cenderung sederhana tetapi mengena. Tuturan itu tidak berupa pola kalimat yang kompleks sebagaimana pada contoh "dadahana awakmu nganggo payung, kaé langité wis mêndhung". Kendati demikian, kesederhanaan ujaran itu justru memperlihatkan bahwa dalam berkomunikasi, masyarakat Pekalongan memiliki kecenderungan untuk menggnakan ujaran yang efektif. Melalui cara itu pula, dapat kita lihat betapa bahasa Jawa subdialek Pekalongan cenderung mengedepankan sisi kepraktisan. Dengan kata lain, masyarakat Pekalongan cenderung memiliki paradigma yang praktis pula.

Dari kata "palango" pula kita pada akhirnya bisa membaca, bahwa di balik kepraktisan bahasa itu, tersirat pula cara pandang masyarakat Pekalongan yang cenderung praktis pula. Hal ini didukung pula dengan karakter wilayahnya yang merupakan kawasan pesisir Jawa. Dalam sejarahnya, kawasan ini merupakan kawasan perlintasan jalur perdagangan. Sehingga, budaya yang terbentuk pun merupakan budaya perniagaan yang lebih menonjolkan kepraktisan. Sebab, dinamika budaya yang terjadi di kawasan ini cenderung bergerak cepat dibandingkan dengan kawasan pedalaman.

Dinamika budaya yang bergerak cepat ini pada gilirannya mendorong perilaku budaya masyarakatnya cenderung lebih kompetitif. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan untuk dapat selekas mungkin beradaptasi dengan keadaan. Kemampuan ini menjadi pilihan sikap mereka di dalam mengantisipasi segala bentuk gangguan dan ancaman.

Di sisi lain, pada aspek ekologis, kemampuan adaptasi yang menjadi bekal dalam mengantisipasi segala kejadian yang menimpa juga merupakan sebuah cara yang mereka gunakan di dalam bertahan hidup. Terutama, setelah mereka menyadari betul bahwa lingkungan tempat mereka tinggal---sekalipun cukup menjanjikan secara ekonomi---menyimpan beragam potensi negatif. Wilayah ini merupakan langganan banjir.

Ditilik dari aspek ekologis tersebut, bisa dikatakan pula jika ungkapan "palango" merupakan sebuah ungkapan yang secara semiotik menandakan pewarisan kecerdasan ekologis yang telah terjadi secara turun-temurun pada masyarakat Pekalongan. Terutama, dalam mengantisipasi segala bentuk ancaman yang dapat mencelakai diri. Masyarakat Pekalongan memiliki sikap yang senantiasa siaga, sebab bisa jadi mereka sesungguhnya menyadari jika tempat huni mereka rawan bencana. Dengan begitu pula, masyarakat Pekalongan memiliki sikap yang rendah hati, karena menyadari bahwa segala yang terjadi di alam semesta berjalan sesuai kehendak Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun