Sementara Seknas Gusdurian, Aulia Rahman, juga menggarisbahawi, bahwa upaya Gus Dur dalam membangun kemandirian dalam sikap dan tindakan masyarakat dilandasi oleh kemauan kerasnya dalam memahami setiap fenomena yang terjadi di masyarakat. "Ada jargon yang diyakini Gus Dur. Menurut beliau, guru spiritualitas saya adalah realitas. Dan, guru realitas saya adalah spiritualitas. Pernyataan ini menandakan bahwa seorang Gus Dur menempatkan realitas dan spiritualitas sebagai cermin. Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh," tutur Aulia Rahman.
Melalui jargon itu, Aulia Rahman menangkap kesan, bahwa sosok Gus Dur adalah sosok yang tak pernah berhenti belajar. Gus Dur adalah sosok yang supel dan humble. Sehingga, membuka jalan baginya untuk mengambil pelajaran-pelajaran hidup dari banyak orang dengan latar belakang yang beragam.
Jadi, menurut Aulia Rahman, Gus Dur tidak bisa hanya dikenali sebagai sosok Presiden keempat atau Ketua Umum PBNU saja. "Beliau itu aktifis penggerak di dalam pemberdayaan masyarakat," ujarnya.
Untuk alasan itu, Aulia Rahman menilai, kehadiran komunitas pemberdayaan di tengah masyarakat menjadi diperlukan. Ia juga mengapresiasi inisiastor acara Khaul ke-14 Gus Dur, komunitas Come-So, yang ingin hadir sebagai komunitas pemberdayaan. Terkhususnya lagi, dalam menghadirkan nilai-nilai pemikiran Gus Dur sebagai spiritnya.
Itu pula yang digemakan oleh Aenurrofik, tetua di Come-So (community college for social transformation), saat memberikan prakata acara. Aenurrofik menuturkan, bahwa Come-So merupakan sekelompok orang yang terinspirasi pemikiran Gus Dur. Ia memandang perlu upaya pengejawantahan nilai-nilai dan pemikiran Gus Dur untuk dihadirkan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Terlebih, pemikiran Gus Dur lebih banyak mengambil dari kearifan-kearifan masyarakat desa.
"Untuk itu, kami mengambil tema kegiatan ini, bersama melakukan pemberdayaan inklusif untuk perubahan sosial. Dan, karena itu pula, kami menamai komunitas ini dengan nama Come-So. Sebuah nama yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai akronim dari kampung desa. Itu fokus kita", jelas Aenurrofik.
Come-So sendiri, menurut Aenurrofik, terilhami dari obrolan dengan teman sejawat. Di antaranya Ade Gunawan yang dalam kesempatan itu hadir sebagai pemandu diskusi. Ia mengungkapkan, kemunculan Come-So merupakan sebuah upaya untuk menjawab kegelisahan yang sama-sama dirasakan di antara penggiatnya. Seperti Aenurrofik, Abdul Hamid, Arif Kurniawan, Syamsudin, dan Tsalis Syaifuddin.
"Untuk memantik semangat para Gusdurian di Pekalongan, acara khaul ini diselenggarakan. Sekaligus, sebagai pengenalan kepada masyarakat tentang keberadaan Come-So," tuturnya.
Di lain hal, helat Khaul ke-14 Gus Dur yang diinisiasi Come-So ini rupanya juga mendapat sambutan hangat dari banyak pihak. Acara yang dikemas sederhana itu dihadiri pula tokoh agama Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan. Bahkan, tokoh-tokoh itu turut mendoakan mendiang Gus Dur pada saat acara doa bersama.
Hadir pula, budayawan asal Kota Pekalongan, Ribut Achwandi, yang turut mengisi ruang diskusi. Dalam paparannya, ia mengajak hadirin untuk membaca cara berpikir Gus Dur yang unik. Terutama, lewat pernyataan yang pernah viral pada masanya, "Gitu ajak kok repot".
Ribut menjelaskan, di balik diksi tersebut, tersirat nilai dan fakta-fakta yang berlapis-lapis. Kalimat sederhana itu ingin menunjukkan, betapa saat ini bangsa Indonesia adalah bangsa yang serba repot. Kerepotan itu, menurut Ribut, terlihat lewat beragam agenda-agenda penting yang terlalu kerap menuai polemik.