Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Komunitas Come-So Gelar Haul Gus Dur

22 Desember 2023   13:44 Diperbarui: 22 Desember 2023   14:41 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baca puisi di Haul ke-14 Gus Dur (dok. pribadi)

Suasana khidmat memaluti ruang aula Gedung MWC NU Kajen, Kabupaten Pekalongan, sore itu (Kamis, 21/12/2023), saat lagu Bagimu Negeri ciptaan Kusbini dinyanyikan oleh seluruh yang hadir di pengujung acara Haul ke-14 Gus Dur. Nyanyian itu seakan-akan membawa ingatan seluruh hadirin akan sosok yang selama hayatnya mengabdikan diri sebagai pejuang kemanusiaan. Tak hanya itu, nyanyian itu seolah-olah juga menghadirkan gambaran ketulusan sosok Gus Dur dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan kaum minoritas yang termarjinalkan.

Meski begitu, apa yang dilakukan Gus Dur bukan tanpa rintangan. Selama menjalani peran sebagai pejuang kemanusiaan, Gus Dur kerap menghadapi tentangan dari pihak-pihak lain. Bahkan, ditekan oleh kelompok elit. Akan tetapi, hal itu pantang membuat langkahnya surut mundur ke belakang. Sebaliknya, tindakan-tindakan itu justru membuatnya semakin menguatkannya untuk tetap berada di jalur perjuangannya.

Seperti diungkap Bonifasius Denny Yuswanto, seorang aktivis lintas agama Kota Pekalongan, "Pembelaan Gus Dur terhadap kaum minoritas demikian total. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah bagian dari cita-cita untuk membuat hukum di negeri ini memiliki muruah. Bahwa, hukum di negeri ini menempatkan kesetaraan bagi seluruh warga negaranya. Maka, segala bentuk tindakan diskrimitatif mesti dilibas, karena tidak sesuai dengan asas hukum."

Denny mengaku betapa ia mengagumi sosok Gus Dur. Lebih-lebih, ketika Gus Dur kerap menerima perlakuan yang menyakitkan. Mulai dari penghinaan hingga tindakan-tindakan yang merugikan karier politiknya. Salah satunya, saat Gus Dur diturunkan secara paksa dari kursi kepresidenan.

"Tapi, biar bagaimanapun, Gus Dur tidak pernah memiliki dendam kepada lawan-lawan politiknya. Inilah yang membuat Gus Dur demikian dicintai oleh banyak kalangan," sambung Denny.

Hal serupa juga dinyatakan oleh K.H. Ahmad Marzuqi, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Pekalongan, saat memberi tanggapan atas paparan para pembicara. Dalam kenangnya, Pekalongan memiliki catatan buruk tentang kisruh politik dan kisruh sosial. Kekisruhan itu bahkan mendapat sorotan dari media-media luar negeri, saat itu.

K.H. Ahmad Marzuqi mengaku, salah satu tokoh yang turut jadi sorotan dalam kisruh politik yang terjadi di Pekalongan adalah Gus Dur. Sebagian tokoh di Pekalongan saat itu menentang manuver politik Gus Dur. Akan tetapi, lambat laun tokoh-tokoh tersebut mulai menyadari, bahwa apa yang dilakukan Gus Dur bukan perihal yang keliru. Malah, membuka mata hati seluruh lapisan masyarakat tentang pentingnya menjaga kedaulatan rakyat dalam bernegara.

"Namun kini, keadaannya sudah berbeda. Situasi di Pekalongan cenderung lebih adem. Masyarakat menyadari bahwa hal itu akan merugikan mereka sendiri. Salah satu yang membuat kesadaran masyarakat membaik adalah peran dari Gus Dur. Pemikiran-pemikirannya memberi sumbangan besar bagi upaya-upaya perbaikan yang ada di Pekalongan. Seperti yang sekarang ini dijalankan oleh pemerintah dengan membentuk FKUB," tutur K.H. Marzuqi.

Pengakuan K.H. Ahmad Marzuqi secara tidak langsung mengungkapkan, bahwa langkah-langkah Gus Dur tidak jarang menuai polemik di kalangan elit. Alhasil, tindakan dan pernyataan Gus Dur kerap disalahpahami. Hal itu pula yang diuraikan oleh Prof. Dr. Muchlisin, akademisi UIN Gus Dur. Menurutnya, Gus Dur merupakan sosok yang pemikirannya melampaui zamannya. Pemikiran-pemikiran Gus Dur adalah pemikiran yang visioner dan genuine. Itulah sebabnya, Gus Dur menjadi sosok yang tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan. Sebaliknya, pemikiran Gus Dur justru merupakan ikhtiarnya dalam menyikapi keadaan.

Dalam kesempatan itu, Prof. Muchlisin juga mengungkapkan proses intelektual yang dijalani Gus Dur, hingga memiliki pemikiran yang genuine. "Gus Dur itu seorang pembaca buku sejak dari kecil. Dia melahap banyak bacaan. Artinya, Gus Dur semangat belajarnya sangat tinggi. Karya bukunya luar biasa banyak, dan dibaca banyak kalangan. Walaupun beliau tidak bergelar Profesor," kelakarnya.

Atas dasar itu, Prof. Muchlisin mengajak seluruh hadirin untuk meneladani proses intelektual Gus Dur. Terutama, dalam memperkaya dan penguasaan literasi. Menurutnya, pemberdayaan harus dimulai dari penguasaan literasi. Kemudian diikuti dengan upaya serius mengimplementasikan apa-apa yang telah didapat dari pengkayaan literasi itu.

Sementara Seknas Gusdurian, Aulia Rahman, juga menggarisbahawi, bahwa upaya Gus Dur dalam membangun kemandirian dalam sikap dan tindakan masyarakat dilandasi oleh kemauan kerasnya dalam memahami setiap fenomena yang terjadi di masyarakat. "Ada jargon yang diyakini Gus Dur. Menurut beliau, guru spiritualitas saya adalah realitas. Dan, guru realitas saya adalah spiritualitas. Pernyataan ini menandakan bahwa seorang Gus Dur menempatkan realitas dan spiritualitas sebagai cermin. Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh," tutur Aulia Rahman.

Melalui jargon itu, Aulia Rahman menangkap kesan, bahwa sosok Gus Dur adalah sosok yang tak pernah berhenti belajar. Gus Dur adalah sosok yang supel dan humble. Sehingga, membuka jalan baginya untuk mengambil pelajaran-pelajaran hidup dari banyak orang dengan latar belakang yang beragam.

Jadi, menurut Aulia Rahman, Gus Dur tidak bisa hanya dikenali sebagai sosok Presiden keempat atau Ketua Umum PBNU saja. "Beliau itu aktifis penggerak di dalam pemberdayaan masyarakat," ujarnya.

Untuk alasan itu, Aulia Rahman menilai, kehadiran komunitas pemberdayaan di tengah masyarakat menjadi diperlukan. Ia juga mengapresiasi inisiastor acara Khaul ke-14 Gus Dur, komunitas Come-So, yang ingin hadir sebagai komunitas pemberdayaan. Terkhususnya lagi, dalam menghadirkan nilai-nilai pemikiran Gus Dur sebagai spiritnya.

Itu pula yang digemakan oleh Aenurrofik, tetua di Come-So (community college for social transformation), saat memberikan prakata acara. Aenurrofik menuturkan, bahwa Come-So merupakan sekelompok orang yang terinspirasi pemikiran Gus Dur. Ia memandang perlu upaya pengejawantahan nilai-nilai dan pemikiran Gus Dur untuk dihadirkan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Terlebih, pemikiran Gus Dur lebih banyak mengambil dari kearifan-kearifan masyarakat desa.

"Untuk itu, kami mengambil tema kegiatan ini, bersama melakukan pemberdayaan inklusif untuk perubahan sosial. Dan, karena itu pula, kami menamai komunitas ini dengan nama Come-So. Sebuah nama yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai akronim dari kampung desa. Itu fokus kita", jelas Aenurrofik.

Come-So sendiri, menurut Aenurrofik, terilhami dari obrolan dengan teman sejawat. Di antaranya Ade Gunawan yang dalam kesempatan itu hadir sebagai pemandu diskusi. Ia mengungkapkan, kemunculan Come-So merupakan sebuah upaya untuk menjawab kegelisahan yang sama-sama dirasakan di antara penggiatnya. Seperti Aenurrofik, Abdul Hamid, Arif Kurniawan, Syamsudin, dan Tsalis Syaifuddin.

"Untuk memantik semangat para Gusdurian di Pekalongan, acara khaul ini diselenggarakan. Sekaligus, sebagai pengenalan kepada masyarakat tentang keberadaan Come-So," tuturnya.

Di lain hal, helat Khaul ke-14 Gus Dur yang diinisiasi Come-So ini rupanya juga mendapat sambutan hangat dari banyak pihak. Acara yang dikemas sederhana itu dihadiri pula tokoh agama Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan. Bahkan, tokoh-tokoh itu turut mendoakan mendiang Gus Dur pada saat acara doa bersama.

Hadir pula, budayawan asal Kota Pekalongan, Ribut Achwandi, yang turut mengisi ruang diskusi. Dalam paparannya, ia mengajak hadirin untuk membaca cara berpikir Gus Dur yang unik. Terutama, lewat pernyataan yang pernah viral pada masanya, "Gitu ajak kok repot".

Ribut menjelaskan, di balik diksi tersebut, tersirat nilai dan fakta-fakta yang berlapis-lapis. Kalimat sederhana itu ingin menunjukkan, betapa saat ini bangsa Indonesia adalah bangsa yang serba repot. Kerepotan itu, menurut Ribut, terlihat lewat beragam agenda-agenda penting yang terlalu kerap menuai polemik.

"Salah satu faktornya, ketidaktaatan kita pada hukum. Tetapi, apakah cukup di situ? Ternyata tidak. Sebab, di dalam proses penyusunan dan pembuatan hukum pun masih menyisakan berjuta masalah," tuturnya.

Sebagai penutup paparannya, Ribut lantas membacakan puisi karyanya, berjudul "Membaca Gus Dur". Puisi satir itu menyinggung berbagai permasalahan bangsa yang belum diselesaikan. Salah satunya tentang alam pikir bangsa Indonesia yang termanifestasikan ke dalam penggunaan dan pengajaran bahasa. Menurutnya, alam pikir keindonesiaan masih perlu diperiksa ulang agar menemukan kejelasan dan kepastian.

"Gus Dur adalah salah satu representasi alam pikir Indonesia yang orisinil. Bahasa beliau lugas dan tuntas. Tetapi, juga luwes. Tak ayal jika pemikiran Gus Dur boleh dibilang paripurna bagi orang-orang sekelas kita yang duduk di sini," ujarnya.

Demikian cair dan renyah diskusi yang dihadirkan dalam kegiatan tersebut. Audien saling merespon dan memberi tanggapan. Sehingga, terjadilah dialog di antara yang hadir. Beberapa komunitas tampak meramaikan acara tersebut, di antaranya Among Roso, Santri, pegiat desa, PMII, HMI, Gusdurian, Lakpesdam, dan ratusan masyarakat umum memenuhi ruangan MWC NU Kajen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun