Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Perjalanan "Monolog Hoegeng" (Bagian 02)

23 November 2023   02:27 Diperbarui: 28 November 2023   01:38 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan "Monolog Hoegeng" di hadapan Kapolri dan Panglima TNI dalam acara Peresmian Monumen Hoegeng/dok.pribadi

Setelah peristiwa pertemuan singkat itu, sehari setelah itu, kesibukan saya mulai bertambah. Mencari bahan-bahan. Membaca-baca buku, artikel-artikel koran, juga artikel-artikel di media-media online. Tak lain, karena saya sangat ingin mendapatkan gambaran sosok jenderal polisi berhati bening itu secara lengkap.

Jatah waktu saya hanya dua hari. Itu pun tak penuh. Rabu malam, saya mesti menjalankan tugas sebagai seorang penyiar radio, hingga pukul 12 malam. Memasuki hari Kamis, saya hanya bisa menyediakan waktu dari dini hingga pagi. Selepas itu, saya mesti istirahat. Selebihnya, saya gunakan untuk mempersiapkan materi siaran.

Rasa-rasanya waktu memadat, sepadat-padatnya. Nyaris tak ada jeda untuk menghirup udara di teras rumah. Seluruh putaran jarum merah pada jam dinding tersita, hanya untuk membaca-baca artikel itu. Membuat pikiran terkuras habis. Anehnya, makin berpikir, rasa-rasanya makin jauh saya dari apa yang saya kehendaki. Seolah-olah ada dinding tebal yang menjadi sekat. Dinding itu kian tebal saja. Sampai-sampai saya hanya merasa waktu makin memadat tanpa kejelasan arah.

"Aku butuh istirahat," gumam saya waktu itu.

Tetapi, bagaimana mungkin? Dua agenda mingguan menunggu.

Alamak! Ini hari Kamis. Hari yang tersibuk. Hari yang mestinya tak boleh diganggu oleh hal-hal lain. Ada dua agenda yang harus saya urus. Pertama, Kojah Sastra. Sebuah program siaran di Radio Kota Batik yang saya asuh. Tidak mungkin saya tinggalkan begitu saja. Terlalu sayang jika terabaikan. Program itu sudah saya jalankan selama tiga tahun lebih.

Dan, setiap hari Kamis, saya mesti menyiapkan banyak hal. Materi siaran, bahan-bahan dukungan, dan lain sebagainya. Yang pokok, saya mesti menemukan tema dan topik obrolan saat siaran.

Beruntung saja, salah seorang musisi muda Pekalongan, Ve Sanya namanya, bersedia menjadi bintang tamu. Setidaknya, itu sedikit melegakan. Saya tak perlu berpikir terlalu keras untuk obrolan malam itu.

Saat jelang siaran, Ve datang dengan gitar kecilnya. Setengah jam sebelum acara dimulai. Saya sangat menghargai usaha itu.

Di studio, saya berusaha pula agar obrolan yang dilangsungkan membuat Ve nyaman. Kami mengobrol begitu santai selama dua jam di dalam studio. Membahas bagaimana ia menulis lirik-lirik lagunya. Bahkan, kami sempat bermemorabilia. Mengenang saat kami sepanggung di atas pentas-pentas musik. Dan, malam itu pun terjadi. Di ujung acara, kami kembali berduet. Ia memainkan musik dan lagunya. Saya membacakan puisi panjang karya Bang Hasan Aspahani.

Kedua, Rehat Malam. Program siaran obrolan santai yang menyoroti problem keseharian. Kali ini, saya benar-benar nge-blank. Saya tak menemukan tema menarik untuk diobrolkan. Saking nge-blank-nya, sampai-sampai tak sempat menghubungi kawan sekerja saya, Ozy. Biasanya, kalau pas nge-blank, saya akan meminta pertimbangan pada kawan saya, sesama penyiar radio.

Terpaksa, saya putuskan sendiri. Saya pilih "Savouring Solitude" sebagai judul tema untuk Rehat Malam. Tema itu sepertinya menjadi ungkapan kegelisahan saya yang memang memerlukan waktu khusus untuk memulai sebuah pekerjaan besar. Menulis naskah untuk pementasan drama yang mengangkat sosok Jenderal Hoegeng. Itu saya rasakan setelah saya memajang selebaran di media sosial.

Tetapi, rupanya selebaran di media sosial itu membuat seorang mahasiswa di salah satu kampus kenamaan di Pekalongan tertarik. Bayu namanya. Ia menjapri saya via WhatsApp. Katanya, "Temanya menarik."

Langsung saya balas, "Nanti malam siaran bareng aja yuk! Kita obrolin soal kesepian."

Bayu mengiyakan.

Makin lega pula hati ini. Saya punya bintang tamu yang bisa diajak ngobrol. Jadi, tak perlu berbusa-busa ngomong di depan mikrofon tentang kesepian.

Di balik kelegaan itu, ada yang diam-diam menggelisahkan. Telepon cerdas bikinan negeri tirai bambu itu meraung-raung sejak pagi. Entah berapa kali. Saya tak menghitungnya. Yang saya ingat, dua nama yang berulang-ulang menelepon dan mengirim pesan singkat. Saya abaikan. Saya butuh fokus.

Tetapi, lama-lama saya merasa tak enak. Terpaksa saya balas pesan singkat itu. Rupanya, ada satu pekerjaan tambahan. Saya mesti membuat perencanaan anggaran untuk pentas itu. Harus hari itu juga. Bertambah pula cabang pikiran di kepala.

Agar tak membuat pusing, permintaan itu saya dahulukan. Saya bikin rancangan anggaran, meski agak tertatih-tatih menghitung. Yang jadi pertimbangan, sekali waktu saya ingin membuat anak-anak Teater SOGAN merasa dihargai. Membuat mereka merasakan bahwa tetesan keringat mereka bernilai. Mereka mesti mendapat lebih dari yang saya dapatkan. Itu saja.

Usai mengerjakan, segera saya kirim. Soal hasil, saya tak peduli. Acc atau tidak, bukan urusan saya.

Saya kembali pada pekerjaan yang terjeda. Menyiapkan bahan untuk siaran malam. Hingga sore menjemput, saya bergegas menuju kantor. Itu pun masih harus mempersiapkan diri. Saya harus benar-benar siap untuk bersiaran.

Siaran Kojah Sastra, aman. Tak sedikit pun kendala. Malah, saya benar-benar menikmatinya. Apalagi ditemani bintang tamu spesial, Ve Sanya.

Giliran siaran Rehat Malam. Ada hilang. Teman nge-host saya tak nampak batang hidungnya. Entah kemana. Bintang tamu saya, Bayu, belum juga datang. Alhasil, saya mesti ngoceh sendirian selama beberapa menit di depan mikrofon. Cukup melelahkan. Pikiran saya belum fokus. Tetapi, saya sangat merasakan kesepian itu.

Pikiran saya mendadak aneh. Terbesit dalam benak, jangan-jangan kesepian yang saya rasakan itu terpengaruh judul topik yang saya bahasa. Menikmati kesendirian. Saya pun terpaksa bersiaran sendiri. Tanpa partner, tanpa bintang tamu. Mungkin ini yang disebut sebagai kekuatan kata? Kalaupun iya, apa boleh buat. Saya harus menjalaninya.

Di dalam kesendirian itu, lama-lama ingatan saya tergugat. Lambat laun, gugatan itu merupa ancaman. Merajang pikiran saya. Mencabang kemana-mana. Menyoal naskah yang saya janjikan itu kepada Bu Wakapolres. Menyoal tenggat waktu. Menyoal kesiapan anak-anak Teater SOGAN. Ah!

Soal naskah, sehuruf pun belum saya tulis. Belum sempat. Soal janji? Saya belum bisa memastikan apakah esok hari terpenuhi. Soal anak-anak Teater SOGAN, tak bisa saya bayangkan.

Sejak itu, saya menyadari, saya mengambil risiko terlalu besar. Bukan hanya untuk saya sendiri. Tetapi, juga untuk anak-anak Teater SOGAN. Melibatkan mereka membuat saya merasa berdosa.

Saya muai panik. Pikiran saya kacau. Nyaris kehilangan kontrol saat bersiaran. Dari dalam studio, di balik jendela kaca transparan, saya edarkan pandangan mata. Memburu keberadaan keberadaan Ozy, yang sejak pukul 9 malam menghilang. Sempat muncul pikiran buruk, jangan-jangan ia marah karena tidak saya libatkan saat menentukan judul tema malam itu. Apalagi, judulnya tentang kesendirian. Mungkin ia merasa tak saya butuhkan. Ah, saya benar-benar merasa bersalah saat itu.

Ya sudah, show must go on! Saya tak boleh berhenti ngoceh. Sebagaimana dalam konsep awal Rehat Malam. No song, no comercial break. Hanya ada ngoceh selama dua jam. Full!

Setengah jam saya ngoceh. Di luar, saya menangkap sorot lampu motor yang mengarah ke pintu gerbang, kemudian memasuki halaman kantor radio. Lalu, berhenti tepat di depan jendela studio. Tak lama, sorot lampu itu memadam.

Pemandangan itu lantas disusul dengan bayangan siluet seorang lelaki yang turun dari motornya, kemudian berjalan menuju pintu.

'Ah, itu pasti Bayu!' pikir saya.

Tebakan saya tak meleset. Dari balik jendela studio yang mengarah ke ruang lobi, muncullah Bayu. Saya lambaikan tangan. Memintanya segera memasuki studio. Ia bergegas memasuki studio. Saya lega. Ada teman ngobrol malam itu.

Berbagi mikrofon, kami ngobrol tentang kesendirian. Ya, tentang kesendirian, bukan kesepian. Sebab, tak selalu sendiri itu bermakna sepi. Pun sebaliknya, sepi tak selalu dirasakan saat sendiri.

"Yu, jujur aku masih butuh menyendiri nih," ucap saya.

"Kenapa?"

"Aku butuh tempat untuk menemukan keterasingan. Supaya aku temukan, betapa segala sesuatu itu adalah keajaiban. Karena menurutku, dunia ini tak ada yang wajar. Semuanya istimewa. Sayangnya, kita kerap dibuat rabun oleh dunia. Seolah-olah semua itu wajar-wajar saja. Datar-datar saja," jelas saya.

"Kan bisa dengan menyepi di tengah keramaian, Kang? Nggak harus menyendiri."

"Benar sih. Tapi, untuk menemukan titik paling dalam, aku butuh menyendiri. Kamu sendiri, gimana?"

"Sebentar, Kang. Boleh aku nanya?" pinta Bayu tiba-tiba.

"Nanya aja, gratis kok!"

"Kenapa sih ujug-ujug Kang Ribut mau bahas topik ini?"

"Nggak tahu, Yu. Topik ini tiba-tiba saja muncul siang tadi."

"Sori ya, Kang. Kalau boleh aku kasih saran, kayaknya Kang Ribut perlu istirahat."

Ucapan Bayu seketika mengatupkan bibirku. Terkunci untuk sesaat. Untungnya ada musik latar dalam siaran itu. Jadi, suasana tak terasa bengong-bengong amat.

Bayu melanjutkan ucapannya, "Kita itu selalu punya titik jenuh, Kang. Entah karena kesibukan, pekerjaan, atau apapun yang bikin kita ngrasa bosan pada titik tertentu. Satu-satunya cara ya istirahat."

"Tetapi, bagaimana jika keadaan memaksa kita agar tidak punya waktu beristirahat walau sebentar?"

"Istirahat nggak harus selalu berhenti, Kang. Nggak harus tidak melakukan apa-apa. Tapi, istirahat itu melepaskan beban pikiran. Kita bisa saja sambil melakukan aktivitas lain yang bisa bikin kita relaks. Atau, jalan-jalan keliling kota. Mungkin juga dengan piknik ke suatu daerah yang jauh dari rumah."

Ah, seperti cenayang saja si Bayu. Tapi, okelah. Dia benar. Saya memang butuh waktu untuk benar-benar merasakan ketenangan saat itu. Sayang, laju waktu tak bisa saya bendung. Sementara, deadline mengejar.

Di saat kami tengah asyik mengobrol, Ozy mendadak muncul. Ia duduk di sebelah saya. Langsung tancap gas, bercuap-cuap ria di depan mikrofon. Tapi, dengan enteng ia mengaku, kalau dirinya baru saja ketiduran di studio rekaman. Ah, sepertinya tema obrolan malam itu benar-benar membuat semua orang merasa perlu menemukan kesendiriannya masing-masing. Tidak terkecuali, Ozy.

Usai menjalankan tugas ngoceh di radio, tak seperti biasa, saya buru-buru pulang. Meski semula sempat terbesit untuk mengerjakan naskah monolog itu di kantor. Tetapi, saya butuh tempat yang nyaman untuk menulis. Dan, pilihan saya jatuh pada rumah.

Ya, saya butuh ketenangan. Butuh sepi. Atau bahkan, butuh tempat untuk menyepi. Seperti saat dahulu, ketika saya dilarikan oleh teman-teman penggiat Maiyah Suluk Pesisiran ke Jogja. Saya ditinggal sendirian di penginapan, hanya agar saya benar-benar menulis. Dan benar, selama saya di penginapan, saya menulis beberapa artikel.

Tetapi, kali ini agaknya mustahil melakukan itu. Yang mungkin saya lakukan hanya menulis pada saat semua pekerjaan selesai. Ketika orang-orang rumah sudah membenamkan diri dalam mimpi. Sebenarnya, itu tak cukup. Suasana di lingkungan kampung tempat tinggal saya tak cukup benar-benar hening. Maklum, perkampungan tempat tinggal saya ada di pinggiran kota, padat pula.

Seperti malam selepas mengudara. Saya membenamkan diri ke dalam layar laptop. Tetapi, tak satu pun huruf muncul di sana. Sama sekali, saya tak mendapatkan gambaran tentang apa yang akan terjadi pada pementasan itu. Saya hanya bisa menatap layar kosong, hingga malam kembali pada pagi.

Blank!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun