Giliran siaran Rehat Malam. Ada hilang. Teman nge-host saya tak nampak batang hidungnya. Entah kemana. Bintang tamu saya, Bayu, belum juga datang. Alhasil, saya mesti ngoceh sendirian selama beberapa menit di depan mikrofon. Cukup melelahkan. Pikiran saya belum fokus. Tetapi, saya sangat merasakan kesepian itu.
Pikiran saya mendadak aneh. Terbesit dalam benak, jangan-jangan kesepian yang saya rasakan itu terpengaruh judul topik yang saya bahasa. Menikmati kesendirian. Saya pun terpaksa bersiaran sendiri. Tanpa partner, tanpa bintang tamu. Mungkin ini yang disebut sebagai kekuatan kata? Kalaupun iya, apa boleh buat. Saya harus menjalaninya.
Di dalam kesendirian itu, lama-lama ingatan saya tergugat. Lambat laun, gugatan itu merupa ancaman. Merajang pikiran saya. Mencabang kemana-mana. Menyoal naskah yang saya janjikan itu kepada Bu Wakapolres. Menyoal tenggat waktu. Menyoal kesiapan anak-anak Teater SOGAN. Ah!
Soal naskah, sehuruf pun belum saya tulis. Belum sempat. Soal janji? Saya belum bisa memastikan apakah esok hari terpenuhi. Soal anak-anak Teater SOGAN, tak bisa saya bayangkan.
Sejak itu, saya menyadari, saya mengambil risiko terlalu besar. Bukan hanya untuk saya sendiri. Tetapi, juga untuk anak-anak Teater SOGAN. Melibatkan mereka membuat saya merasa berdosa.
Saya muai panik. Pikiran saya kacau. Nyaris kehilangan kontrol saat bersiaran. Dari dalam studio, di balik jendela kaca transparan, saya edarkan pandangan mata. Memburu keberadaan keberadaan Ozy, yang sejak pukul 9 malam menghilang. Sempat muncul pikiran buruk, jangan-jangan ia marah karena tidak saya libatkan saat menentukan judul tema malam itu. Apalagi, judulnya tentang kesendirian. Mungkin ia merasa tak saya butuhkan. Ah, saya benar-benar merasa bersalah saat itu.
Ya sudah, show must go on! Saya tak boleh berhenti ngoceh. Sebagaimana dalam konsep awal Rehat Malam. No song, no comercial break. Hanya ada ngoceh selama dua jam. Full!
Setengah jam saya ngoceh. Di luar, saya menangkap sorot lampu motor yang mengarah ke pintu gerbang, kemudian memasuki halaman kantor radio. Lalu, berhenti tepat di depan jendela studio. Tak lama, sorot lampu itu memadam.
Pemandangan itu lantas disusul dengan bayangan siluet seorang lelaki yang turun dari motornya, kemudian berjalan menuju pintu.
'Ah, itu pasti Bayu!' pikir saya.
Tebakan saya tak meleset. Dari balik jendela studio yang mengarah ke ruang lobi, muncullah Bayu. Saya lambaikan tangan. Memintanya segera memasuki studio. Ia bergegas memasuki studio. Saya lega. Ada teman ngobrol malam itu.