Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Perjalanan "Monolog Hoegeng" (Bagian 01)

20 November 2023   03:13 Diperbarui: 28 November 2023   01:54 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan "Monolog Hoegeng" di hadapan Kapolri dan Panglima TNI dalam acara Peresmian Monumen Hoegeng/dok.pribadi

Apa yang Anda pikirkan, ketika menerima telepon dari seorang sahabat yang mengabarkan bahwa Anda harus datang ke kantor polisi saat itu juga? Mungkin, Anda akan bertanya-tanya, ada masalah apa sampai-sampai harus berurusan dengan polisi?

Diakui atau tidak, persepsi kita tentang polisi kadung kaprah. Seseorang yang dipanggil ke kantor polisi dianggap sebagai orang yang bermasalah. Pikiran saya pun demikian.

Rabu siang (25 Oktober 2023) lalu, di tengah perjalanan menuju kampus STAI Ki Ageng Pekalongan, mendadak telepon genggam meringik-ringik. Memaksa kuda besi bikinan negeri asal novelis Yasunari Kawabata saya hentikan dan menepi.

Telepon saya angkat. Panggilan dari sahabat saya, Citro Utomo, saya terima. Om Citro adalah seorang pengusaha. Juga pengelola sebuah sekolah musik di Kota Pekalongan. Dalam telepon itu, Om Citro bilang, bahwa Ibu Wakapolres Pekalongan Kota meminta saya untuk menghadap di kantor. Siang itu juga.

Kabar itu cukup mengejutkan. Membuat saya mendadak gugup dan cemas. Seolah-olah saya menjadi buronan polisi. Untuk menutupi rasa gugup dan cemas itu, saya pura-pura memastikan, bahwa kabar itu benar. "Harus sekarang, Om?" tanya saya.

"Iya, sekarang," tandas Om Citro.

"Ada masalah apa ya, Om?"

Pertanyaan itu disambut tawa Om Citro yang renyah. Lantas, ia menjelaskan maksud Wakapolres, "Begini, Mas. Tadi, Bu Waka meminta saya mencari orang yang bisa bikin pentas drama. Lha sehubungan saya itu kenalnya sama sampean, ya nama sampean yang saya sodorkan ke Bu Waka. Piye? Sampean nggak keberatan to?"

"Oke, Om. Saya nggak keberatan. Tapi, maaf sebelumnya. Ini dalam rangka apa, Om?" tanya saya lagi.

"Tanggal 10 itu mau ada peresmian Monumen Hoegeng. Lha beliau pengin di acara itu ada pentas drama atau teater yang menggambarkan sosok Hoegeng. Gimana? Sampean bisa kan? Kalau nggak bisa, ya coba kira-kira sampean punya rekomendasi siapa?" jelas Om Citro.

"Ada Om yang biasa nggarap pentas teater di acara-acara resmi seperti itu," balas saya.

"Siapa?"

"Biasanya ya mas Sidik, Om."

"Lha sampean, anak-anak SOGAN apa nggak bisa?"

Pertanyaan itu membuat saya ragu-ratu menjawab. Selintas waktu, saya terdiam. Bagi saya, ini bukan soal bisa atau tidak. Akan tetapi, saya tak cukup punya gambaran tentang pentas teater yang disuguhkan dalam acara-acara penting. Saya takut kalau-kalau pentas teater itu tidak memenuhi standar. Jauh dari harapan.

Apalagi dengan keberadaan anak-anak di Teater SOGAN yang sudah sangat lama tidak bersentuhan dengan panggung teater. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Mencari nafkah untuk keluarga. Ini pula yang membuat saya ragu-ragu untuk mengatakan iya.

"Gini aja wis, mas. Sampean hari ini sempatkan ketemu Bu Waka. Kapan pun saya siap nunggu. Nanti kita bareng-bareng ke sana. Urusan sampean sanggup atau tidak, itu nanti. Piye?" tandas Om Citro.

"Oke deh, Om. Nanti sore ya Om. Soalnya saya masih nugas di kampus STAIKAP," balas saya.

"Ya wis, nanti kalau sudah siap hubungi saya, ya?!"

"Siap, Om!"

Panggilan selesai.

Tetapi, rupanya masih menyisakan masalah. Tak tanggung-tanggung, masalahnya besar pula. Bagaimana tidak, urusannya sama kepolisian. Dan, dalam waktu singkat, dalam hitungan jam, saya mesti bisa memastikan, apakah tawaran itu akan diambil atau dicampakkan begitu saja. Tak ada pilihan yang mengenakkan. Kalau diterima, saya mesti siap menggarap sesuai permintaan. Kalau tidak, kesempatan tidak datang untuk kali kedua.

Saya memutar otak lebih keras. Mencari jalan keluar yang pasti. Sedikit memaksa, harus iya. Walau, ada ragu untuk kata iya.

Saya hubungi Jogawi, salah seorang penggiat di Teater SOGAN. Lewat pesan pendek di WhatsApp, saya sampaikan; "Saya baru saja dihubungi Om Citro. Beliau bilang, kita diminta menghadap Bu Wakapolres sore ini. Katanya, Bu Waka meminta kita untuk menggarap pentas drama. Untuk lebih jelas, kita ketemu di Polres nanti sore sekitar pukul 4."

Tak menunggu lama, jawaban dari Jogawi saya terima. Ia hanya menulis pesan yang teramat singkat; "Siap, Kang."

Lega. Meski belum seratus persen. Setidaknya, ada kepastian di awal. Bahwa anak-anak Teater SOGAN siap menerima tawaran itu. Tetapi, yang belum dipikirkan kala itu adalah konsekuensi yang mesti dijalani. Sama sekali tak terpikirkan.

Saat itu, yang bisa saya lakukan hanyalah berusaha menghubungi Om Citro kembali. Menyampaikan kabar pasti, bahwa kami siap menerima tawaran itu. Selebihnya, akan dibicarakan pada pertemuan di Polres, sorenya. Titik!

Dalam kisah ini, tentu ada berbagai peristiwa yang ikut melintas. Tetapi, selagi tidak begitu berkaitan langsung dengan kisah ini dan pula tidak memberi pengaruh besar pada kisah ini, saya kira tak perlu saya cantumkan di sini. Langsung saja, saya menuju pada peristiwa yang terjadi pada pukul 16.00.

Saya baru saja sampai di kantor Radio Kota Batik, tempat kerja saya. Baru saja meletakkan tas dan menaruh laptop di atas meja. Lagi-lagi teleponku meringik-ringik. Sudah saya duga, itu pasti panggilan dari Om Citro. Dan, benar!

"Mas, sudah ditunggu di kantor Polres sekarang," ucap Om Citro.

Saya jawab, "Capcus otw, Om!"

Untung, jarak antara kantor RKB dengan Polres tak terlalu jauh. Kalau ditempuh dengan sepeda motor, paling sepuluh menit sampai. Jadi, saya tak perlu tergesa-gesa melajukan sepeda motor.

Benar juga, sesampai di depan kantor Polres, rupanya mobil Om Citro baru saja sampai. Artinya, saya tak terlambat datang. Om Citro datang bersama sahabatnya, Om Didik. Kami bertiga buru-buru menuju pos jaga. Melapor, bahwa kami ingin menemui Bu Wakapolres.

"Sudah ada janji, Pak?" tanya salah seorang polisi yang berjaga.

"Sudah," jawab Om Citro.

"Maaf, Ibu baru saja pulang, Pak," kata polisi itu.

Tak kalah akal, Om Citro mengangkat telepon. Entah siapa yang diteleponnya. Sementara saya, juga mendapatkan kiriman pesan singkat di nomor WA. Dari salah seorang polisi senior, Pak Budi namanya. Ia menanyakan keberadaan saya. Dan, saya balas, "Saya masih di depan kantor Polres, Pak."

Selepas itu, tiga orang polisi senior, menghambur dari dalam kantor. Mereka langsung menghampiri pos jaga. Lalu, menyilakan kami menunggu di ruang lobi. Petugas jaga pun diminta mengantar kami ke ruang yang dimaksud. Mula-mula, petugas jaga itu agak bingung. Mungkin karena kurang paham. Tetapi, saya merasakan betapa sore itu kami diperlakukan istimewa.

Merasa tak enak, juga agar tak terkesan srugal-srugul, saya dan juga Om Citro memilih menunggu di depan pos jaga. Apalagi Bu Waka sedang tidak di tempat. Rasa-rasanya kurang etis kalau kami memasuki ruangan tanpa seizin tuan rumah. Walau, mungkin saja sudah diperbolehkan.

Tak lama, kemudian sebuah mobil hitam memasuki halaman kantor Polres Pekalongan Kota. Para petugas berdiri dengan sikap sempurna. Mereka menghormat. Kaca jendela mobil dibuka. Dari balik jendela, tampak Bu Waka menyapa kami ramah. Kemudian, meminta petugas untuk mengantar kami menuju ruang pertemuan.

Kami merasa sangat terhormat dengan perlakuan yang demikian. Meski, dalam hati, saya merasa betapa protokol yang diterapkan membuat saya jadi canggung. Saya merasa tak enak hati dengan para polisi muda itu. Memang, Bu Waka tak menyalahkan mereka. Akan tetapi, dari raut wajah mereka tampak bahwa mereka merasa telah bersikap kurang bijak terhadap kami. Saya maklum, mungkin karena penampilan saya yang menurut mereka kurang meyakinkan.

Di ruang lobi, kami disambut beberapa orang polisi. Mereka menemani kami, sebelum akhirnya Bu Waka menerima kedatangan kami. Cangkir-cangkir teh menyambut hangat kehadiran kami. Beberapa makanan ringan dihidangkan. Memberi kesan keakraban.

Bu Waka muncul dari ruangannya. Lalu, segera mengambil tempat untuk duduk bersama kami. Sedikit perkenalan, kemudian langsung menuju pada inti pembahasan.

"Tanggal 10 November, kami ada acara peresmian Monumen Hoegeng. Kami ingin di acara itu ada semacam pementasan drama atau teater yang menggambarkan sosok Jenderal Hoegeng. Panjenengan semua tentunya sudah melihat kan peresmian monumen Pancasila beberapa waktu lalu itu? Nah, kira-kira seperti itulah gambaran pentasnya. Hanya, pemainnya sebisa mungkin tidak sebanyak yang kemarin itu. Bisa?" jelas Bu Waka.

"Siap, Bu. Kami usahakan," jawab saya.

"Satu lagi, njenengan pastinya sudah pirsa, apa dan siapa Jenderal Hoegeng. Nah, harapan saya, di pentas itu gambaran mengenai Pak Hoegeng benar-benar dapat dimunculkan dan dimengerti masyarakat. Terutama, mengenai karakter beliau. Pak Hoegeng dikenal sebagai sosok polisi yang jujur, berani, dan lain-lain itu bisa divisualisasikan dalam drama itu. Malah, kemarin waktu kami diskusi dengan Dindik, kami juga mendapat masukan, bahwa enam karakter dalam kurikulum merdeka itu ada pada pribadi Pak Hoegeng. Nah, kira-kira gimana tuh cara memasukkannya dalam pentas, mas?"

Pembicaraan terjeda sejenak. Pak Kapolres ikut nimbrung.

"Siap, Bu. Sebelum saya bikin konsepnya, saya ingin mendengar lebih banyak dulu dari Ibu. Kira-kira seperti apa yang Ibu kehendaki," balas saya.

"Karena saya seorang wanita, saya membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang melahirkan seorang jenderal seperti Pak Hoegeng. Pasti bangga. Dan, naluri seorang ibu, umumnya ingin memiliki putra seperti beliau. Jadi, saya pengin tuh pementasan itu juga menggambarkan sosok ibu yang melahirkan Jenderal Hoegeng. Yang kemudian, diakhiri dengan adegan ibu ini berharap agar di kemudian hari akan lahir Hoegeng-Hoegeng lainnya," jelas Bu Waka.

Sedikit mencandai dan mencairkan suasana, saya sampaikan usulan, "Bagaimana jika Ibu ikut main?"

Bu Waka langsung angkat tangan. "Tugas saya sudah sangat banyak. Acara ini, saya yang handle. Kalau saya ikut main, bisa kacau nanti," ujarnya. "Makanya, untuk urusan pentas drama, saya serahkan pada njenengan."

"Iya, Mas. Tolong dibantu kami," sahut Pak Kapolres. "Saya percayalah, mas Ribut bisa. Cuma memang agak beda konsepnya dengan yang kemarin itu. Kalau kemarin itu kan massanya banyak. Nah, kita ini mau pakai konsep yang lebih sederhana. Lebih ringkas. Kemarin itu kami cukup terkesan dengan pementasannya. Bikin kami merinding. Sampai-sampai Pak Kapolri dan Panglima TNI pun terkesan tuh. Nah, yang ini, kira-kira dengan konsep sederhana bisa nggak ya kami dibikin merinding?"

"Oh iya, benar. Kemarin itu membuat kami haru. Lha, yang sekarang kalau bisa buatlah kami lebih terkesan lagi. Bisa kan?" tambah Bu Waka.

Jogawi yang datang belakangan bersama Bayu dan Andika turut angkat bicara. "Kami paham, Bu. Untuk urusan naskah nanti biar Kang Ribut yang menggarap. Sementara kami, akan menggarap pementasan naskahnya."

"Berapa yang main kira-kira?" tanya Pak Kapolres.

"Saya belum mendapat gambaran."

"Dikira-kira aja dulu."

"Kalau dua puluh gimana?" usul Bu Waka.

"Maaf, Ibu. Kalau soal berapanya belum bisa kami perkirakan. Kami manut sama naskah yang akan ditulis Kang Ribut saja, seperti apa nantinya," jawab Jogawi.

"Oh begitu. Ya sudah, kami tunggu kabarnya nanti. Sementara, itu dulu yang kita bicarakan. Lain-lain, kami tunggu koordinasinya," pungkas Bu Waka.

Tak terasa, langit menggelap. Diskusi itu dipungkasi. Saya kembali ke kantor. Jogawi dan kawan-kawan kembali ke sanggar. Sementara, Om Citro dan Om Didik kembali ke kantor mereka. Di halaman parkir, sebelum kami berpisah, sedikit obrolan kecil terjadi. Om Citro meminta agar naskah segera ditulis. Saya hanya bisa mengusahakan. Sebab, hari itu baru pembicaraan awal. Sedang, waktu yang tersedia hanya 16 hari. Waktu yang sangat pendek untuk sebuah penggarapan pentas teater. Waktu yang saya pikir tak mungkin cukup. Tak masuk akal pula. Mustahil terjadi.

Belum lagi, saya harus memikirkan semua yang jadi usulan dan keinginan dari pihak kepolisian atas pentas itu. Benar-benar sebuah pekerjaan yang berisiko. Apalagi berurusan dengan polisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun