"Saya belum mendapat gambaran."
"Dikira-kira aja dulu."
"Kalau dua puluh gimana?" usul Bu Waka.
"Maaf, Ibu. Kalau soal berapanya belum bisa kami perkirakan. Kami manut sama naskah yang akan ditulis Kang Ribut saja, seperti apa nantinya," jawab Jogawi.
"Oh begitu. Ya sudah, kami tunggu kabarnya nanti. Sementara, itu dulu yang kita bicarakan. Lain-lain, kami tunggu koordinasinya," pungkas Bu Waka.
Tak terasa, langit menggelap. Diskusi itu dipungkasi. Saya kembali ke kantor. Jogawi dan kawan-kawan kembali ke sanggar. Sementara, Om Citro dan Om Didik kembali ke kantor mereka. Di halaman parkir, sebelum kami berpisah, sedikit obrolan kecil terjadi. Om Citro meminta agar naskah segera ditulis. Saya hanya bisa mengusahakan. Sebab, hari itu baru pembicaraan awal. Sedang, waktu yang tersedia hanya 16 hari. Waktu yang sangat pendek untuk sebuah penggarapan pentas teater. Waktu yang saya pikir tak mungkin cukup. Tak masuk akal pula. Mustahil terjadi.
Belum lagi, saya harus memikirkan semua yang jadi usulan dan keinginan dari pihak kepolisian atas pentas itu. Benar-benar sebuah pekerjaan yang berisiko. Apalagi berurusan dengan polisi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI