Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Perjalanan "Monolog Hoegeng" (Bagian 01)

20 November 2023   03:13 Diperbarui: 28 November 2023   01:54 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudah ada janji, Pak?" tanya salah seorang polisi yang berjaga.

"Sudah," jawab Om Citro.

"Maaf, Ibu baru saja pulang, Pak," kata polisi itu.

Tak kalah akal, Om Citro mengangkat telepon. Entah siapa yang diteleponnya. Sementara saya, juga mendapatkan kiriman pesan singkat di nomor WA. Dari salah seorang polisi senior, Pak Budi namanya. Ia menanyakan keberadaan saya. Dan, saya balas, "Saya masih di depan kantor Polres, Pak."

Selepas itu, tiga orang polisi senior, menghambur dari dalam kantor. Mereka langsung menghampiri pos jaga. Lalu, menyilakan kami menunggu di ruang lobi. Petugas jaga pun diminta mengantar kami ke ruang yang dimaksud. Mula-mula, petugas jaga itu agak bingung. Mungkin karena kurang paham. Tetapi, saya merasakan betapa sore itu kami diperlakukan istimewa.

Merasa tak enak, juga agar tak terkesan srugal-srugul, saya dan juga Om Citro memilih menunggu di depan pos jaga. Apalagi Bu Waka sedang tidak di tempat. Rasa-rasanya kurang etis kalau kami memasuki ruangan tanpa seizin tuan rumah. Walau, mungkin saja sudah diperbolehkan.

Tak lama, kemudian sebuah mobil hitam memasuki halaman kantor Polres Pekalongan Kota. Para petugas berdiri dengan sikap sempurna. Mereka menghormat. Kaca jendela mobil dibuka. Dari balik jendela, tampak Bu Waka menyapa kami ramah. Kemudian, meminta petugas untuk mengantar kami menuju ruang pertemuan.

Kami merasa sangat terhormat dengan perlakuan yang demikian. Meski, dalam hati, saya merasa betapa protokol yang diterapkan membuat saya jadi canggung. Saya merasa tak enak hati dengan para polisi muda itu. Memang, Bu Waka tak menyalahkan mereka. Akan tetapi, dari raut wajah mereka tampak bahwa mereka merasa telah bersikap kurang bijak terhadap kami. Saya maklum, mungkin karena penampilan saya yang menurut mereka kurang meyakinkan.

Di ruang lobi, kami disambut beberapa orang polisi. Mereka menemani kami, sebelum akhirnya Bu Waka menerima kedatangan kami. Cangkir-cangkir teh menyambut hangat kehadiran kami. Beberapa makanan ringan dihidangkan. Memberi kesan keakraban.

Bu Waka muncul dari ruangannya. Lalu, segera mengambil tempat untuk duduk bersama kami. Sedikit perkenalan, kemudian langsung menuju pada inti pembahasan.

"Tanggal 10 November, kami ada acara peresmian Monumen Hoegeng. Kami ingin di acara itu ada semacam pementasan drama atau teater yang menggambarkan sosok Jenderal Hoegeng. Panjenengan semua tentunya sudah melihat kan peresmian monumen Pancasila beberapa waktu lalu itu? Nah, kira-kira seperti itulah gambaran pentasnya. Hanya, pemainnya sebisa mungkin tidak sebanyak yang kemarin itu. Bisa?" jelas Bu Waka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun