Seperti awan mendung, kabar buruk itu begitu cepat disebarkan angin ke seluruh tanah Jawa. Memalutkan duka mendalam bagi para pengikut setia sang putra mahkota Mataram yang memilih keluar dari istana dan melawan VOC. Mereka gusar. Hilang kendali. Hilang arah. Lalu, saling beradu pandang dan menyimpan pertanya yang sama. Apakah perang masih akan dilanjutkan?
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, kabar serbuan serdadu VOC ke seluruh pelosok Jawa menyusul. Memburu mereka. Melumpuhkan kekuatan laskar-laskar Jawa. Siapapun mereka, begitu tertangkap, langsung didor. Tak ada ampun!
Dengan lagak berkuasa, serdadu-serdadu itu memasuki desa-desa. Mengobrak-abrik isi rumah-rumah warga. Memaksa mereka buka suara tentang keberadaan laskar-laskar Jawa. Mereka tak segan menarik pelatuk senapan, hingga terlontar biji peluru, tembus di dada warga. Sontak, suara tangis melengking, memuncak di udara. Menghamburlah aroma kematian berbuah ketakutan yang teramat.
Perempuan-perempuan desa tak luput dari incaran. Beringas mereka mencabuli perempuan-perempuan itu. Tak peduli apakah bersuami atau gadis. Di hadapan banyak orang, di halaman rumah, mereka merenggut kehormatan perempuan-perempuan desa itu.
Pun harta milik warga desa. Mereka gasak, mereka rampas. Apapun itu. Setidaknya, cukuplah bagi mereka sebagai sarana berpesta saat malam selepas menjalankan tugas.
Benar-benar, sebuah aksi balas dendam yang membabi buta atas kerugian besar yang mereka tanggung. Bangkas-brangkas kekayaan mereka terkuras. Seluruh pendanaan hanya demi membendung kekuatan laskar Jawa. Membiayai perbaikan area-area perkebunan milik saudagar-saudagar Eropa yang rusak. Sementara, di pusat-pusat perniagaan Jawa pemasukan yang mereka terima tak ubahnya aliran sungai kering di musim kemarau panjang.
“Keadaan semakin buruk. Kita tak bisa tinggal diam, Kangmas,” ucap lirih Ki Ridong pada sepenggal malam di pesanggrahan Ki Ageng Wanenpati.
Gugatan itu tak segera dibalas. Ki Ageng Wanenpati menghela napas. Seolah-olah ada sesuatu menindih di dadanya. Walau bagaimanapun, ia mengakui, kata-kata Ki Ridong benar. Akan tetapi, untuk melawan, rasa-rasanya terlalu berat. Berderet masalah ia timbang. Berbagai kemungkinan ia hitung.
Ki Ridong terbungkam oleh sikap diam Ki Ageng Wanenpati. Ia menunggu.
Perlahan, Ki Ageng Wanenpati mulai mengangkat dagu. Lalu, menengok ke arah Ki Ridong. Sebentar ia tatap wajah sahabatnya itu. Sebentar kemudian, ia menunduk. Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke langit yang diliputi gelap. Ingatannya terlontar ke masa lampau yang jauh.
Pelan, Ki Ageng Wanenpati mulai membuka suara, “Seekor kerbau yang marah, lalu mengamuk, tenaganya akan berlipat-lipat. Sulit ditaklukkan. Tidak mudah pula dilawan. Kecuali, oleh pawangnya. Itu pula yang pernah terjadi, ketika pemuda Tingkiran itu menggugat Kesultanan Demak, Dhimas.”
Ki Ridong masih terdiam.
“Sayangnya, kita bukan pawang itu, Dhimas.”
“Lalu?” balas Ki Ridong dengan suara yang mengambang.
“Kau tahu, saat ini laskar-laskar Jawa berpencar. Sebagian masuk hutan. Sebagian ke gunung. Sementara, jalur-jalur penghubung kita diputus. Begitu pula dengan istana, mereka susupi. Makin sempit ruang gerak kita, Dhimas,” jelas Ki Ageng Wanenpati.
Ki Ridong mengangguk. Berusaha menangkap keresahan orang yang sangat dihormatinya itu. Tak hanya sempit, segalanya serba terapit. Segalanya menjadi rumit. Serba sulit.
Seorang telik sandi tiba menghampiri. Tergopoh-gopoh ia mengantarkan kabar, bahwa serdadu VOC tinggal sejengkal menuju dukuh tempat sembunyi mereka.
Tak lagi berpanjang pikir, Ki Ageng Wanenpati memutuskan. Dukuh tempat sembunyi mereka harus segera ditinggalkan, malam itu juga. Orang-orang dihimpun. Berbagai bekal dibawa. Juga persenjataan yang cukup. Lalu, diperintahnya pula beberapa orang untuk membakar seisi dukuh itu.
Bagai sebuah pesta, nyala api itu menari-nari sambil menjilati apa saja yang ada di dekatnya. Melumat seluruh isi dukuh. Dari ketinggian, sejenak Ki Ageng Wanenpati dan pengikutnya menyaksikan tarian api itu seraya menyampaikan salam perpisahan kepada dukuh itu. Lalu, melanjutkan perjalanan.
Keesokan pagi, di antara rerimbun Alas Jajarwuluh, di dekat bantaran sungai, mereka mengistirahatkan badan. Ki Ageng Wanenpati duduk meneduh di bawah naungan sekumpulan pokok bambu. Kerisik daun-daun yang saling bergesek oleh tiupan angin cukup menenangkannya. Memberi daya pada tubuh lelah, selepas menempuh perjalanan malam yang dingin dan lembab. Sementara, sahutan kicau burung menambah kesan tenteram pada jiwa yang tengah digusarkan oleh ketakpastian.
“Dhimas, kemarilah!” seru Ki Ageng Wanenpati kepada Ki Ridong.
Ki Ridong mendekat. Duduk di samping Ki Ageng Wanenpati. Menemaninya.
“Kau lihat burung-burung itu?”
Ki Ridong mengangguk.
“Mereka tak kenal lelah, walau harus hidup berpindah-pindah. Dari satu pohon ke pohon lain. Mereka tetap riang berkicauan. Bagi mereka, bumi adalah rumah. Maka, mereka bebas saja bergerak ke sana-kemari,” ucapan Ki Ageng Wanenpati membungkam Ki Ridong. Seolah-olah ia mengerti betul apa yang sedang bersarang di balik tempurung kepalanya.
“Aku pikir, selepas istirahat kita lanjutkan perjalanan lewat jalur sungai. Kita bisa gunakan batang-batang bambu ini untuk dijadikan gethek,” usul Ki Ageng Wanenpati.
Ki Ridong tak bisa menolak. Begitu pula yang lain. Ia sadar, pelarian yang dijalaninya bukan karena sesuatu yang salah. Akan tetapi, demi kesaksian untuk masa depan. Bahwa apa yang sebelumnya terjadi adalah sebuah upaya menegakkan kedaulatan negerinya.
Orang-orang mulai sibuk membabat batang-batang bambu Alas Jajarwuluh. Tiap-tiap pedapuran bambu hanya diambil seperlunya. Itupun hanya batang-batang bambu yang sudah cukup tua dan kuat.
Gethek-gethek telah dirakit. Orang-orang bersiap melanjutkan perjalanan. Ki Ageng Wanenpati menumpang gethek paling depan sembari mendendangkan nyanyian yang pernah disuarakan Jaka Tingkir.
“Sigra milir sang gèthèk sinangga bajul.
Kawan dasa kang njagèni.
Ing ngarsa miwah ing pungkur.
Tanapi ing kanan kéring.
Sang gèthèk lampahé alon.”
Bagai mantra sihir, tembang itu menenteramkan. Perjalanan yang ditempuh terasa tenang, hanyut oleh tembang itu. Tanpa terasa gethek-gethek itu telah mengantarkan mereka pada sebuah bantaran sungai yang rimbun. Ki Ageng Wanenpati segera menepikan gethek, diikuti yang lain. Lalu, batang-batang bambu itu dihanyutkan.
Mereka kemudian memasuki hutan dengan batang-batang pohon besar. Seluruh pasang mata mengancang-ancang. Waspada penuh. Hutan itu senyap. Hening. Tak satu pun tanda kehidupan di sana. Bagi Ki Ageng Wanenpati, inilah hutan yang dicari. Luas dan jauh dari keriuhan pusat kota.
Sembari terus berjalan menyusuri hutan, Ki Ageng Wanenpati mengajak bicara seluruh penghuni hutan. Pohon-pohon, udara, tanah, batu, dan segala yang tinggal di sana. Dalam hening, ia bicara, “Wahai makhluk penghuni hutan, terimalah salamku. Kami datang bukan untuk mengusik ketenteraman kalian. Kami hanya pejalan yang tengah mencari tempat berlindung. Maka, izinkan kami tinggal di jantungmu, wahai rimba yang asing.”
Seketika, semak belukar yang lebat dan menutupi jalan tersingkap. Tampak di balik semak itu sebatang pohon lo besar dan tinggi. Ki Ageng Wanenpati melangkah. Berjalan di antara celah semak. Yang lain bersiaga. Begitu benar-benar dekat dengan pohon itu, Ki Ageng Wanenpati menyentuhnya. Orang-orang mengawasi dari jauh. Beberapa jenak Ki Ageng Wanenpati terdiam.
Tak berapa lama kemudian, Ki Ageng Wanenpati membalikkan badan. Lalu berseru, “Turunkan barang-barang kalian. Kita tinggal di sini.”
Tanpa banyak suara, orang-orang menurunkan barang-barang bawaan mereka. Beberapa tampak mulai mendirikan tenda. Lainnya, mulai mengumpulkan ranting dan kayu. Ada pula yang mengumpulkan daun-daun.
Ki Ridong mendekati Ki Ageng Wanenpati. Setengah berbisik, ia berkata, “Apakah kakang sudah pikirkan masak-masak untuk tinggal di sini?”
Tampak Ki Ageng Wanenpati tersenyum lebar. Lantas membalas, “Dhimas, Dhimas.... Kamu ini khawatirnya kelewatan. Hutan ini banyak menyimpan air. Hanya butuh dialirkan. Toh, tak jauh dari sini ada sungai besar. Jadi, tak perlu serisau itu, Dhimas.”
Lagi-lagi, balasan Ki Ageng Wanenpati menandakan kewaskitaannya. Ia sepertinya mengerti apa yang ada dalam pikiran Ki Ridong. Tetapi, begitulah nyatanya. Kekhawatiran Ki Ridong memang tak bisa dielakkan. Hutan ini tak memiliki mata air. Sementara, mereka membutuhkan air, jika ingin berlama-lama tinggal.
Ki Ageng Wanenpati mencabut tombak yang terselip pada ikat pinggang. Pelan ia hunus tombak itu dari warangka. Sejenak kemudian, badan tombak itu dilekatkan pada dahinya. Lantas, dihunjamkan ujung tombak itu ke tanah. Ditariknya, hingga membentuk garis yang mengelilingi hutan.
Namun, ada yang tak diduga. Setiba di dekat pohon tua, tombak itu tak sanggup menggores tanah. Seakan-akan tanah itu keras, melebihi kerasnya batu. Ia angkat tombak Sangkelat itu. Lantas, dihunjamkannya lagi. Tetapi, tak ada hasil. Diulanginya lagi. Masih sama hasilnya. Hanya percikan bunga api.
Penasaran akan apa yang tersembunyi di balik tanah itu, Ki Ageng Wanenpati kemudian menggali tanah dengan kedua tangannya. Tak cukup dalam, tampak akar seukuran lidi melintang. Akar itu adalah akar pohon tua yang berdiri kokoh di hadapannya.
Menyadari keanehan itu, Ki Ageng Wanenpati lantas mendekati pohon tua itu. Diajaklah berunding.
“Maafkan aku yang telah lancang memasuki wilayahmu, wahai sedulur tuwa. Tetapi, tidak ada jalan lain bagi kami. Maka, jika engkau izinkan, berilah aku selembar daun kering sebagai tanda, bahwa kau merelakan akarmu aku potong. Berikan padaku selembar daunmu yang baru tumbuh, jika engkau bersedia aku pindahkan. Jika kau keberatan, berilah aku sebatang rantingmu,” ucapnya lirih pada pohon tua itu.
Sebuah ranting jatuh menimpa kepala. Ki Ageng Wanenpati semerta berucap, “Terima kasih atas jawabanmu, wahai sedulur tuwa. Walau bukan yang kuharapkan, aku hargai itu. Aku jadi mengerti, engkau adalah pohon yang teguh pendirian. Tak goyah oleh apapun. Kau adalah sebatang pohon yang wuled.”
Demi menghormati pohon tua itu, Ki Ageng Wanenpati akhirnya membelokkan arah goresan tombaknya. Memberi ruang pohon tua itu untuk berdiang di tanah itu. Memberinya tempat khusus bagi kelangsungan hidup pohon tua itu.
Usai menggores tanah dengan tombak Sangkelat, tanah itu perlahan membelah. Secara perlahan, air memancar dari dalam tanah. Kemudian mengalir lancar. Rekahan tanah itu menjadi sungai kecil yang mengelilingi hutan. Bermuara pada sungai besar tempat mereka menepikan gethek. Dan, sebagai tanda penghormatan Ki Ageng Wanenpati kepada pohon tua itu, ia lantas menamai dusun itu dengan nama Wuled.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H