“Maafkan aku yang telah lancang memasuki wilayahmu, wahai sedulur tuwa. Tetapi, tidak ada jalan lain bagi kami. Maka, jika engkau izinkan, berilah aku selembar daun kering sebagai tanda, bahwa kau merelakan akarmu aku potong. Berikan padaku selembar daunmu yang baru tumbuh, jika engkau bersedia aku pindahkan. Jika kau keberatan, berilah aku sebatang rantingmu,” ucapnya lirih pada pohon tua itu.
Sebuah ranting jatuh menimpa kepala. Ki Ageng Wanenpati semerta berucap, “Terima kasih atas jawabanmu, wahai sedulur tuwa. Walau bukan yang kuharapkan, aku hargai itu. Aku jadi mengerti, engkau adalah pohon yang teguh pendirian. Tak goyah oleh apapun. Kau adalah sebatang pohon yang wuled.”
Demi menghormati pohon tua itu, Ki Ageng Wanenpati akhirnya membelokkan arah goresan tombaknya. Memberi ruang pohon tua itu untuk berdiang di tanah itu. Memberinya tempat khusus bagi kelangsungan hidup pohon tua itu.
Usai menggores tanah dengan tombak Sangkelat, tanah itu perlahan membelah. Secara perlahan, air memancar dari dalam tanah. Kemudian mengalir lancar. Rekahan tanah itu menjadi sungai kecil yang mengelilingi hutan. Bermuara pada sungai besar tempat mereka menepikan gethek. Dan, sebagai tanda penghormatan Ki Ageng Wanenpati kepada pohon tua itu, ia lantas menamai dusun itu dengan nama Wuled.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H