Sembari terus berjalan menyusuri hutan, Ki Ageng Wanenpati mengajak bicara seluruh penghuni hutan. Pohon-pohon, udara, tanah, batu, dan segala yang tinggal di sana. Dalam hening, ia bicara, “Wahai makhluk penghuni hutan, terimalah salamku. Kami datang bukan untuk mengusik ketenteraman kalian. Kami hanya pejalan yang tengah mencari tempat berlindung. Maka, izinkan kami tinggal di jantungmu, wahai rimba yang asing.”
Seketika, semak belukar yang lebat dan menutupi jalan tersingkap. Tampak di balik semak itu sebatang pohon lo besar dan tinggi. Ki Ageng Wanenpati melangkah. Berjalan di antara celah semak. Yang lain bersiaga. Begitu benar-benar dekat dengan pohon itu, Ki Ageng Wanenpati menyentuhnya. Orang-orang mengawasi dari jauh. Beberapa jenak Ki Ageng Wanenpati terdiam.
Tak berapa lama kemudian, Ki Ageng Wanenpati membalikkan badan. Lalu berseru, “Turunkan barang-barang kalian. Kita tinggal di sini.”
Tanpa banyak suara, orang-orang menurunkan barang-barang bawaan mereka. Beberapa tampak mulai mendirikan tenda. Lainnya, mulai mengumpulkan ranting dan kayu. Ada pula yang mengumpulkan daun-daun.
Ki Ridong mendekati Ki Ageng Wanenpati. Setengah berbisik, ia berkata, “Apakah kakang sudah pikirkan masak-masak untuk tinggal di sini?”
Tampak Ki Ageng Wanenpati tersenyum lebar. Lantas membalas, “Dhimas, Dhimas.... Kamu ini khawatirnya kelewatan. Hutan ini banyak menyimpan air. Hanya butuh dialirkan. Toh, tak jauh dari sini ada sungai besar. Jadi, tak perlu serisau itu, Dhimas.”
Lagi-lagi, balasan Ki Ageng Wanenpati menandakan kewaskitaannya. Ia sepertinya mengerti apa yang ada dalam pikiran Ki Ridong. Tetapi, begitulah nyatanya. Kekhawatiran Ki Ridong memang tak bisa dielakkan. Hutan ini tak memiliki mata air. Sementara, mereka membutuhkan air, jika ingin berlama-lama tinggal.
Ki Ageng Wanenpati mencabut tombak yang terselip pada ikat pinggang. Pelan ia hunus tombak itu dari warangka. Sejenak kemudian, badan tombak itu dilekatkan pada dahinya. Lantas, dihunjamkan ujung tombak itu ke tanah. Ditariknya, hingga membentuk garis yang mengelilingi hutan.
Namun, ada yang tak diduga. Setiba di dekat pohon tua, tombak itu tak sanggup menggores tanah. Seakan-akan tanah itu keras, melebihi kerasnya batu. Ia angkat tombak Sangkelat itu. Lantas, dihunjamkannya lagi. Tetapi, tak ada hasil. Diulanginya lagi. Masih sama hasilnya. Hanya percikan bunga api.
Penasaran akan apa yang tersembunyi di balik tanah itu, Ki Ageng Wanenpati kemudian menggali tanah dengan kedua tangannya. Tak cukup dalam, tampak akar seukuran lidi melintang. Akar itu adalah akar pohon tua yang berdiri kokoh di hadapannya.
Menyadari keanehan itu, Ki Ageng Wanenpati lantas mendekati pohon tua itu. Diajaklah berunding.