Ki Ridong mendekat. Duduk di samping Ki Ageng Wanenpati. Menemaninya.
“Kau lihat burung-burung itu?”
Ki Ridong mengangguk.
“Mereka tak kenal lelah, walau harus hidup berpindah-pindah. Dari satu pohon ke pohon lain. Mereka tetap riang berkicauan. Bagi mereka, bumi adalah rumah. Maka, mereka bebas saja bergerak ke sana-kemari,” ucapan Ki Ageng Wanenpati membungkam Ki Ridong. Seolah-olah ia mengerti betul apa yang sedang bersarang di balik tempurung kepalanya.
“Aku pikir, selepas istirahat kita lanjutkan perjalanan lewat jalur sungai. Kita bisa gunakan batang-batang bambu ini untuk dijadikan gethek,” usul Ki Ageng Wanenpati.
Ki Ridong tak bisa menolak. Begitu pula yang lain. Ia sadar, pelarian yang dijalaninya bukan karena sesuatu yang salah. Akan tetapi, demi kesaksian untuk masa depan. Bahwa apa yang sebelumnya terjadi adalah sebuah upaya menegakkan kedaulatan negerinya.
Orang-orang mulai sibuk membabat batang-batang bambu Alas Jajarwuluh. Tiap-tiap pedapuran bambu hanya diambil seperlunya. Itupun hanya batang-batang bambu yang sudah cukup tua dan kuat.
Gethek-gethek telah dirakit. Orang-orang bersiap melanjutkan perjalanan. Ki Ageng Wanenpati menumpang gethek paling depan sembari mendendangkan nyanyian yang pernah disuarakan Jaka Tingkir.
“Sigra milir sang gèthèk sinangga bajul.
Kawan dasa kang njagèni.
Ing ngarsa miwah ing pungkur.
Tanapi ing kanan kéring.
Sang gèthèk lampahé alon.”
Bagai mantra sihir, tembang itu menenteramkan. Perjalanan yang ditempuh terasa tenang, hanyut oleh tembang itu. Tanpa terasa gethek-gethek itu telah mengantarkan mereka pada sebuah bantaran sungai yang rimbun. Ki Ageng Wanenpati segera menepikan gethek, diikuti yang lain. Lalu, batang-batang bambu itu dihanyutkan.
Mereka kemudian memasuki hutan dengan batang-batang pohon besar. Seluruh pasang mata mengancang-ancang. Waspada penuh. Hutan itu senyap. Hening. Tak satu pun tanda kehidupan di sana. Bagi Ki Ageng Wanenpati, inilah hutan yang dicari. Luas dan jauh dari keriuhan pusat kota.