Pulau Jawa tak ubahnya selembar daun yang hijau ranum. Mengundang kawanan ulat, mengeripnya. Sampai-sampai lembaran daun itu susut.
Begitulah, yang terjadi ketika Raden Mas Jatmiko menaiki tahta kesultanan Mataram. Mula-mula para saudagar asing yang singgah di Pulau Jawa betah tinggal di sini. Lama-lama mereka membangun pusat kekuasaan dagang baru di tepi barat Jawa, Batavia. Sementara, sepanjang sisi utara Jawa yang membentang dari barat ke timur sedikit demi sedikit mereka kuasai.
Sungguh, itu adalah ancaman besar bagi kesultanannya. Wilayah kekuasaan Mataram akan berkurang, kewibawaan istana akan pudar dan redup. Perniagaan Mataram pun akan terjajah oleh kekuatan para saudagar asing itu.
"Tidak ada kerja sama dengan mereka. Tidak! Sebab, yang mereka inginkan adalah menguasai tanah Jawa. Maka, tidak ada cara lain, selain melawan! Kalau tidak, nasib rakyat Mataram jadi taruhan," tegas sang Sultan.
Keputusan telah diambil. Titah dijatuhkan. Tak ada yang perlu ditimbang-timbang. Prajurit Mataram dihimpun. Kekuatan disusun. Dikerahkanlah prajurit-prajurit pilih tanding itu menuju wilayah pesisir utara Jawa.
Adalah Ki Gedhe Noyontoko, seorang senopati yang memimpin sepasukan prajurit Mataram untuk menyusul prajurit pimpinan Ki Ageng Bahureksa di Pekalongan. Di atas pelana kuda, ia tampak gagah dan berwibawa. Berjalan bersama ribuan prajurit, menyusuri hutan, gunung, dan menyeberangi sungai-sungai berbatu.
Setiap melintas jalan desa, barisan prajurit Noyontoko disambut penuh hormat. Lebih-lebih sang senopati. Bagi sebagian besar orang, nama Noyontoko tak asing di telinga. Jauh sebelum memimpin prajurit Maratam, Ki Gedhe Noyontoko sudah begitu melekat di hati mereka. Ia kerap hadir di tengah-tengah warga. Mengajarkan cara bercocok tanam, mengajarkan cara membaca tanda-tanda alam, merancang sistem pengairan, dan sesekali mengajarkan hukum-hukum agama. Kepada yang muda, ia tak berkeberatan hati mengajarkan seni bela diri dan cara menempa logam menjadi berbagai persenjataan dan peralatan yang serba guna.
Kini, di hadapan ribuan prajurit, Ki Gedhe Noyontoko dengan lantang berseru, "Prajurit! Inilah saatnya menjalankan janji setia kita kepada kesultanan Maratam. Menjaga tanah moyang kita dari segala macam gangguan. Dan ketahuilah, penguasaan wangsa Mleca atas Batavia adalah ancaman yang mengganggu tanah Jawa. Mereka telah merusak tatanan! Untuk itu aku serukan, perang ini adalah perang suci demi tegaknya keadilan! Maka, tak ada kata mundur walau sejengkal! Mengerti?"
"Sendika dhawuh!" serempak prajurit menyahut.
"Sekarang, berangkatlah!" perintah Kiai Gedhe Noyontoko.
Derap langkah kaki ribuan prajurit Mataram itu menggetarkan. Dengan tubuh gagah yang dibalut seragam keprajuritan, mereka berbaris begitu rapat, membuat prajurit Mataram tampak berwibawa. Demikian halnya Ki Gedhe Noyontoko yang berada di antara barisan prajurit berkuda. Kharismatik dan anggun.
Setibanya di alas Banjarwaja, Ki Gedhe Noyontoko mengingatkan kepada seluruh prajuritnya agar saling mengawasi satu sama lain. Hutan itu wingit. Selain menjadi tempat hunian satwa liar, hutan yang ditumbuhi pohon-pohon besar itu juga menjadi sarang bagi makhluk-makhluk gaib dan para perompak.
"Hutan ini masih sangat liar. Jangan sampai ada yang tertinggal, mengerti?" bisik Ki Gedhe Noyontoko kepada salah satu prajurit andalannya.
"Baik, Ki!"
Dalam beberapa langkah kemudian, Ki Gedhe Noyontoko lantas menangkap suara kerisik di balik semak. Secepat kilat Ki Gedhe Noyontoko meloncat dari kuda tunggangannya. Lalu, melesat mendekat ke arah suara itu. Tak dinyana, di balik semak yang lebat itu, seekor harimau tengah mengintai rombongan prajurit yang dipimpinnya.
Kehadiran Ki Gedhe Noyontoko yang tiba-tiba itu disambut pula dengan auman. Suara harimau itu menggelegar. Memenuhi seisi rimba. Seluruh prajurit segera memasang ancang-ancang. Mereka menyiagakan persenjataan yang dibawa. Namun, Ki Gedhe Noyontoko mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memberi aba-aba agar prajuritnya bersikap tenang.
"Katakan, apa yang kau mau, wahai harimau?" kata Ki Gedhe Noyontoko.
Wajah harimau itu menampakkan kesan tidak ramah pada Ki Gedhe Noyontoko. Suara aumannya menunjukkan kemarahan, karena terusik oleh kedatangan prajurit Mataram. Dalam sekelebat, tubuh harimau itu melayang, berusaha menerkam Ki Gedhe Noyontoko.
Secepat kilat pula Ki Gedhe Noyontoko bergerak menyamping. Menghindari terkaman harimau itu. "Oh, rupanya itu yang kau mau? Baik, aku layani!" ucapnya.
Harimau itu merendahkan tubuhnya, sambil mengelilingi lawan. Ia menyeringai sambil menatap tajam ke arah lawan. Gigi taringnya memantulkan cahaya matahari yang hangat. Begitu ia mendapatkan kesempatan, kaki depan diangkatnya dengan memasang cakarnya yang siap merobek tubuh lawan.
Sayang, gerakan harimau itu kalah cepat dari gerakan Ki Gedhe Noyontoko. Dan lagi-lagi, senopati pilih tanding itu lolos dari terkaman harimau alas Banjarwaja itu.
Merasa dipermainkan Ki Gedhe Noyontoko, kemarahan harimau itu menjadi. Ia melancarkan serangannya bertubi-tubi ke arah Ki Gedhe Noyontoko. Demikian rapat tubuh keduanya. Sampai-sampai debu yang melayang-layang di sekitar mereka kian menebal. Sungguh sebuah pertarungan yang sengit.
Meski begitu, tak satu pun serangan harimau itu mengenai tubuh Ki Gedhe Noyontoko. Dengan mudah, ia menangkis serangan-serangan itu, hingga diakhiri dengan satu pukulan pamungkas Ki Gedhe Noyontoko. Tubuh harimau itu terpelanting, mundur beberapa langkah, dan tak kuasa lagi berdiri.
Hening beberapa saat kemudian. Ki Gedhe Noyontoko lantas mendekati tubuh harimau yang lemah itu. Disentuhnya tubuh harimau itu. Dengan tenaga dalamnya, Ki Gedhe Noyontoko menyalurkan energi untuk memulihkan tubuh lawannya itu.
"Wahai penunggu alas Banjarwaja yang baik hati, maafkan jika aku melukaimu. Tetapi, sama sekali aku tak punya maksud demikian. Dan perlu kau tahu, wahai raja rimba, saat ini kami sedang memanggul tugas dari sang Sultan Mataram untuk mengamankan wilayah Mataram, juga wilayah kekuasaanmu, dari tangan-tangan jahil. Maka, kuminta padamu bantulah kami," ucap Ki Gedhe Noyontoko kepada harimau penunggu hutan Banjarwaja.
Harimau itu mengangguk. Lalu, bangkit dan menunduk.
"Baiklah. Kalau begitu, aku minta padamu antarkan kami sampai di tepi hutan," pinta Ki Gedhe Noyontoko.
Harimau itu menuruti perintah Ki Gedhe Noyontoko. Ia mengawal perjalanan Ki Gedhe Noyontoko selama di hutan, ikut mengamankan prajurit Mataram dari ancaman serangan satwa liar lainnya.
Jelang di tepi hutan, Ki Gedhe Noyontoko berpamitan pada sang raja hutan. "Wahai raja rimba, perjalanan kami masih jauh. Kau tak perlu mengantar kami sampai ke Batavia. Kau jaga saja hutan ini," kata Kiai Gedhe Noyontoko.
"Aum...!" jawab sang raja hutan.
"Terima kasih, wahai raja hutan. Kau sungguh raja hutan yang bijaksana. Sekarang, pergilah. Temui teman-temanmu dan sampaikan salamku untuk mereka. Sampaikan juga salam Sultan Mataram untuk teman-temanmu," perintah Ki Gedhe Noyontoko.
Harimau itu menurut. Ia segera menjauh dari pasukan Mataram, kembali ke hutan.
Ki Gedhe Noyontoko melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah mereka di sebuah kampung kecil yang tak jauh dari sungai. Ki Gedhe Noyontoko memutuskan beristirahat di sana. Para prajurit mendirikan gubuk-gubuk kecil sebagai tempat berteduh. Sebagian lainnya, mencari apa saja di kebun-kebun tak bertuan untuk dijadikan bahan makanan.
Tak berselang lama, seorang prajurit berkuda datang mendekati kampung itu. Lalu, meminta untuk menemui Ki Gedhe Noyontoko. Diantar dua orang prajurit, ia segera dipertemukan dengan Ki Gedhe Noyontoko di tendanya.
Di hadapan Ki Gedhe Noyontoko, prajurit telik sandi itu menyampaikan kejadian yang di luar dugaan. "Serdadu Belanda telah membakar dan menghancurkan lumbung padi milik kita, Ki," kata telik sandi.
Laporan itu membuat Ki Gedhe Noyontoko terhenyak. Sejenak ia terdiam.
"Tak satupun lumbung tersisa, Ki."
"Keterlaluan! Ini sungguh tidak berperikemanusiaan. Lumbung itu tidak hanya untuk persediaan pasukan. Tetapi juga untuk kebutuhan warga," lanjut Ki Gedhe Noyontoko.
"Lalu, bagaimana langkah kita, Ki?" tanya salah seorang prajurit Ki Gedhe Noyontoko.
"Kita tidak mungkin melakukan penyerangan di sana. Akan sangat sia-sia. Cepat atau lambat, mereka juga akan menuju ke sini. Aku kira, lebih baik kita kembali ke hutan," kata Ki Gedhe Noyontoko.
Keputusan itu agaknya membuat hati prajurit itu ciut hati. Ia merasa keputusan itu tidak tepat, karena perjalanan yang ditempuh sudah sangat jauh. Akan tetapi, Ki Gedhe Noyontoko punya alasan yang kuat atas keputusan itu.
"Kita ke hutan untuk kembali membangun lumbung di sana. Kita olah lahan pertanian dan perkebunan untuk mencukupi kebutuhan warga."
"Lalu, bagaimana dengan penyerangan ke Batavia itu, Ki?" tanya salah seorang prajurit.
"Bagaimana kita bisa menyerang kalau kita lapar? Dan, apakah kita tega membiarkan rakyat sengsara karena kelaparan?" kata Ki Gedhe Noyontoko.
Kata-kata Ki Gedhe Noyontoko tak terbantahkan. Semua pun akhirnya sepakat. Prajurit di bawah pimpinan Ki Gedhe Noyontoko akhirnya menarik diri dan kembali ke hutan.
Matahari baru saja menyembul ke permukaan. Perlahan-lahan, langit melepas selimutnya dan segera bangun dari pejam malamnya. Prajurit Mataram telah tiba di pintu masuk hutan. Seekor harimau yang tempo hari menyerang Ki Gedhe Noyontoko telah berdiri di tepian hutan. Seolah memberi sambutan atas kepulangan prajurit Mataram itu ke rimba kekuasaannya.
"Wahai harimau yang bijaksana, aku kembali lagi untukmu. Terima kasih untuk sambutanmu yang hangat di pagi ini," sapa Ki Gedhe Noyontoko.
Harimau itu lantas berlari mendekat. Ki Gedhe Noyontoko segera turun dari kudanya, lalu merentangkan tangannya lebar-lebar. Menyambut sang raja rimba itu. Keduanya saling berpelukan, seolah dua sahabat yang lama tak pernah jumpa.
"Raja rimbaku, aku senang melihatmu lagi. Bagaimana keluargamu? Apakah mereka juga sebahagia dirimu?"
Raja rimba itu lantas melepas pelukannya sejenak. Ia menengok ke arah tiga ekor harimau yang berdiri di kejauhan. Lalu, memumpun Ki Gedhe Noyontoko untuk menyapa mereka.
"Oh, rupanya itu keluargamu?"
Raja hutan itu mengangguk. Ketiga harimau yang semula berdiri di kejauhan perlahan mendekat. Menyapa sahabat raja hutan itu dengan hangat.
"Ya, ya. Aku terima salam kalian. Dan, aku minta izin kepadamu wahai raja hutan. Kami ingin tinggal di sini bersama kalian. Bagaimana?"
Serempak empat harimau penunggu Alas Banjarwaja itu mengaum. Seolah menyatakan kesetujuan.
"Kalau begitu, tunjukkan kepada kami dimana kami bisa tinggal. Dan, aku pastikan kita akan bersama-sama menjaga hutan ini. Bagaimana?"
Tanpa basa-basi, empat ekor harimau itu lantas berlarian menuju tengah hutan. Mereka menuntun Ki Gedhe Noyontoko, juga memilihkan tempat yang aman bagi prajurit Mataram untuk tempat tinggal. Di atas kudanya, Ki Gedhe Noyontoko mengikuti mereka.
Sesampai di tengah hutan empat harimau itu berhenti. Di tempat itulah Ki Gedhe Noyontoko kemudian mendirikan padepokan. Sementara, para prajurit membangun gubuk-gubuk kecil. Juga mendirikan lumbung.
Selang beberapa lama, padepokan Ki Gedhe Noyontoko berkembang. Orang-orang desa di sekitar hutan banyak berdatangan dan menimba ilmu di sana. Mereka turut pula ikut membangun kawasan hutan itu menjadi perkampungan kecil. Meski demikian, harimau-harimau penjaga hutan itu pun tak berani mengganggu warga. Malah ikut menjaga kampung itu.
Sepeninggalan Ki Gedhe Noyontoko, atas perintah Ki Gedhe Noyontoko, harimau-harimau itu pun bergeser ke hutan yang masih rimbun. Apalagi keadaan kampung itu sudah sangat maju dan berkembang pesat. Atas jasanya pula, nama Ki Gedhe Noyontoko diabadikan sebagai nama desa itu. Desa Noyontakan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H