Tak berselang lama, seorang prajurit berkuda datang mendekati kampung itu. Lalu, meminta untuk menemui Ki Gedhe Noyontoko. Diantar dua orang prajurit, ia segera dipertemukan dengan Ki Gedhe Noyontoko di tendanya.
Di hadapan Ki Gedhe Noyontoko, prajurit telik sandi itu menyampaikan kejadian yang di luar dugaan. "Serdadu Belanda telah membakar dan menghancurkan lumbung padi milik kita, Ki," kata telik sandi.
Laporan itu membuat Ki Gedhe Noyontoko terhenyak. Sejenak ia terdiam.
"Tak satupun lumbung tersisa, Ki."
"Keterlaluan! Ini sungguh tidak berperikemanusiaan. Lumbung itu tidak hanya untuk persediaan pasukan. Tetapi juga untuk kebutuhan warga," lanjut Ki Gedhe Noyontoko.
"Lalu, bagaimana langkah kita, Ki?" tanya salah seorang prajurit Ki Gedhe Noyontoko.
"Kita tidak mungkin melakukan penyerangan di sana. Akan sangat sia-sia. Cepat atau lambat, mereka juga akan menuju ke sini. Aku kira, lebih baik kita kembali ke hutan," kata Ki Gedhe Noyontoko.
Keputusan itu agaknya membuat hati prajurit itu ciut hati. Ia merasa keputusan itu tidak tepat, karena perjalanan yang ditempuh sudah sangat jauh. Akan tetapi, Ki Gedhe Noyontoko punya alasan yang kuat atas keputusan itu.
"Kita ke hutan untuk kembali membangun lumbung di sana. Kita olah lahan pertanian dan perkebunan untuk mencukupi kebutuhan warga."
"Lalu, bagaimana dengan penyerangan ke Batavia itu, Ki?" tanya salah seorang prajurit.
"Bagaimana kita bisa menyerang kalau kita lapar? Dan, apakah kita tega membiarkan rakyat sengsara karena kelaparan?" kata Ki Gedhe Noyontoko.