Setibanya di alas Banjarwaja, Ki Gedhe Noyontoko mengingatkan kepada seluruh prajuritnya agar saling mengawasi satu sama lain. Hutan itu wingit. Selain menjadi tempat hunian satwa liar, hutan yang ditumbuhi pohon-pohon besar itu juga menjadi sarang bagi makhluk-makhluk gaib dan para perompak.
"Hutan ini masih sangat liar. Jangan sampai ada yang tertinggal, mengerti?" bisik Ki Gedhe Noyontoko kepada salah satu prajurit andalannya.
"Baik, Ki!"
Dalam beberapa langkah kemudian, Ki Gedhe Noyontoko lantas menangkap suara kerisik di balik semak. Secepat kilat Ki Gedhe Noyontoko meloncat dari kuda tunggangannya. Lalu, melesat mendekat ke arah suara itu. Tak dinyana, di balik semak yang lebat itu, seekor harimau tengah mengintai rombongan prajurit yang dipimpinnya.
Kehadiran Ki Gedhe Noyontoko yang tiba-tiba itu disambut pula dengan auman. Suara harimau itu menggelegar. Memenuhi seisi rimba. Seluruh prajurit segera memasang ancang-ancang. Mereka menyiagakan persenjataan yang dibawa. Namun, Ki Gedhe Noyontoko mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memberi aba-aba agar prajuritnya bersikap tenang.
"Katakan, apa yang kau mau, wahai harimau?" kata Ki Gedhe Noyontoko.
Wajah harimau itu menampakkan kesan tidak ramah pada Ki Gedhe Noyontoko. Suara aumannya menunjukkan kemarahan, karena terusik oleh kedatangan prajurit Mataram. Dalam sekelebat, tubuh harimau itu melayang, berusaha menerkam Ki Gedhe Noyontoko.
Secepat kilat pula Ki Gedhe Noyontoko bergerak menyamping. Menghindari terkaman harimau itu. "Oh, rupanya itu yang kau mau? Baik, aku layani!" ucapnya.
Harimau itu merendahkan tubuhnya, sambil mengelilingi lawan. Ia menyeringai sambil menatap tajam ke arah lawan. Gigi taringnya memantulkan cahaya matahari yang hangat. Begitu ia mendapatkan kesempatan, kaki depan diangkatnya dengan memasang cakarnya yang siap merobek tubuh lawan.
Sayang, gerakan harimau itu kalah cepat dari gerakan Ki Gedhe Noyontoko. Dan lagi-lagi, senopati pilih tanding itu lolos dari terkaman harimau alas Banjarwaja itu.
Merasa dipermainkan Ki Gedhe Noyontoko, kemarahan harimau itu menjadi. Ia melancarkan serangannya bertubi-tubi ke arah Ki Gedhe Noyontoko. Demikian rapat tubuh keduanya. Sampai-sampai debu yang melayang-layang di sekitar mereka kian menebal. Sungguh sebuah pertarungan yang sengit.