Pertama, jika kalimat itu merupakan sebuah anjuran atau seruan agar masyarakat cerdas dalam memilih, maka makna tersirat pada kalimat tersebut adalah masyarakat dianggap tidak atau kurang cerdas.Â
Pertanyaannya kemudian, kalau masyarakat dianggap tidak atau kurang cerdas bagaimanakah sesungguhnya negara memainkan peran dan fungsinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Padahal, di dalam UUD 1945 telah disebut dan diatur bagaimana negara dan rakyat berperan aktif di dalam usaha mencerdaskan bangsa.
Kedua, jika masyarakat sudah dianggap tidak atau kurang cerdas, maka apakah ini bisa dianggap sebagai sebuah sangkaan buruk terhadap perilaku masyarakat? Bahwa masyarakat dianggap tidak atau kurang cerdas di dalam bersikap.Â
Kalau hal ini yang muncul, apakah ini artinya bahwa negara telah membiarkan ketidakcerdasan ini tinggal di dalam masyarakat? Atau dengan pernyataan yang mungkin lebih tajam apakah hal ini dapat dikatakan bahwa negara sengaja membikin sistem yang ditujukan untuk membodohi masyarakatnya?
Ketiga, jika masyarakat dituntut untuk cerdas memilih, bagaimana dengan para caleg yang akan dipilih? Apakah mereka juga dituntut untuk cerdas sebagai orang pilihan? Jika iya, mengapa praktik politik uang dan kecurangan-kecurangan di dalam pemilu masih terjadi? Inikah cara cerdas para caleg?
Keempat, jika masyarakat dianjurkan untuk menjadi pemilih yang cerdas, maka sebenarnya pernyataan tersebut memberi isyarat bahwa sebenarnya masih terdapat caleg-caleg yang dikategorikan sebagai orang yang tidak atau kurang cerdas. Jika demikian, kecerdasan yang seperti apa yang menjadi tolok ukurnya? Dari hal ini, sebenarnya masyarakat dan caleg memiliki hak yang sama, yakni untuk menjadi pemilih dan pilihan yang cerdas.
Kelima, kalimat tersebut kerap muncul sebagai kampanye yang dilakukan oleh pihak terkait di dalam menanggulangi minimnya angka partisipasi masyarakat, praktik kecurangan dalam pemilu, dan seputar masalah golput. Maka dari itu, lewat kalimat tersebut muncul pula sebuah pertanyaan, jika gejala-gejala itu terbaca apakah tidak ada tindakan yang mampu menanggulangi masalah-masalah tersebut?Â
Tentunya, perlu dibaca pula gejala tersebut lewat berbagai perspektif sehingga akar masalah dapat diungkap dan dicari jalan keluarnya. Rendahnya angka partisipasi tentunya juga perlu dikorelasikan dengan tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat atas kinerja legislatif. Praktik kecurangan pemilu (seperti politik uang atau kampanye hitam) perlu pula dihubungkan dengan integritas para caleg.
Tentu, ini bukan tugas yang ringan. Bukan pula hanya menjadi tugas panitia penyelenggara pemilu. Masalah ini adalah masalah bersama, tugas bersama. Semua elemen perlu memberi dukungan terhadap upaya meningkatkan kualitas pemilu. Karena upaya yang dilakukan adalah meningkatkan kualitas pemilu maka semestinya angka partisipasi yang hanya menampilkan data statistik tidak dijadikan parameter kualitas penyelenggaraan acara lima tahunan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H