Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Cerdas Bukan Hanya bagi Pemilih

31 Mei 2023   18:28 Diperbarui: 31 Mei 2023   18:54 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa aspek emosi di dalam pemakaian bahasa, utamanya pemilihan kata, mampu memberi semacam daya pada kata-kata. Pilihan kata yang tepat diyakini akan mampu memengaruhi masyarakat.

Di era kini, slogan tak hanya sebagai alat propaganda politik. Ia difungsikan pula sebagai media iklan. Slogan juga telah diyakini sebagai cara ampuh untuk menciptakan citra. 

Slogan menjadi begitu penting sebagai brand image. Tetapi, tidak selamanya makna ungkapan yang berbau slogan tersebut sejalan dengan bentuk ungkapan yang digunakan.

Meminjam perspektif sosiologi media Tuchman, hal tersebut terjadi karena campur tangan pihak terkait di dalam mengonstruksi realitas di dalam memaknai setiap ungkapan. 

Dengan kata lain, ada kecenderungan untuk memaksa publik di dalam memahami makna setiap ungkapan yang dikehendaki oleh si pemilik ungkapan melalui sudut pandang tertentu. 

Oleh karena itu, slogan pada dasarnya merupakan sebuah ungkapan yang dipaksakan agar diterima dan diamini oleh konsumen (masyarakat). Slogan, dalam hal ini merupakan sebuah ungkapan yang cenderung bersifat persuasif-imperatif. 

Tampak bahwa slogan telah menjadi bagian dari sebuah proyek yang oleh Derrida disebut sebagai logosentrisme. Di dalamnya terkandung maksud upaya untuk melegitimasi institusi sebagai (meminjam istilah yang dikenalkan Karl Marx) super struktur. Dalam pemikiran yang demikian, lembaga yang memberi pernyataan dianggap memiliki kekuasaan penuh untuk memaksa atas maksud yang diinginkan.

Tetapi, melalui perspektif dekonstruksi, pemaknaan tunggal yang dikehendaki oleh otoritas pemberi pernyataan tersebut digugurkan. Makna dikembalikan pada publik, karena tanpa kehadiran publik sebuah ungkapan dalam berbagai bentuk dan media yang digunakan akan menjadi

Pengertian ini jelas memperlihatkan suatu gejala bahwa makna kata di dalam slogan menjadi tunggal. Makna slogan hanya didasarkan atas kepentingan ideologis yang diamini oleh kelompok sosial tertentu. 

Hal ini menunjukkan pula adanya sebuah keyakinan terhadap kemampuan slogan di dalam memengaruhi khalayak. Slogan dianggap memiliki daya kata yang mampu membuat khalayak percaya tanpa harus memeriksa ulang kemungkinan adanya makna yang tersembunyi atau makna yang meleset dari pemakaian kata. 

Dengan kata lain, makna slogan ditentukan oleh pencetusnya. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika pernyataan-pernyataan yang beraroma slogan itu diperiksa ulang. Dibedah dengan menggunakan perspektif dekonstruksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun