pemilih cerdas!" kerap muncul dalam berbagai media.Â
Setiap menjelang pemilu, kalimat "Gunakan hak pilih Anda dengan cerdas!" atau "Cerdaslah dalam memilih!" atau "JadilahMemang, sepintas kalimat itu tampak wajar, tidak bermasalah. Tetapi, tidak berarti sesuatu yang dipandang wajar tidak perlu dipertanyakan. Bagi saya, patut dicurigai slogan-slogan yang demikian.
Alih-alih menjadi slogan yang mengajak dan menganjurkan masyarakat agar menjadi cerdas menggunakan hak pilih, kalimat-kalimat sejenis pada gilirannya memiliki peluang untuk dimaknai dengan cara dan perspektif yang berbeda. Kalimat yang sepintas tampak berkesan wajar itu bisa jadi dibelokkan maknanya hingga jauh dari yang diharapkan. Mengapa demikian? Tidak lain karena bahasa.
Setiap ungkapan---lewat penafsiran bahasa---dapat diinterpretasikan ke dalam berbagai bentuk pemahaman yang berbeda-beda. Pemaknaan ungkapan bergantung pada perspektif yang digunakan.Â
Oleh karena itu, pemaknaan atas sebuah kata menjadi perihal yang kontekstual mengingat bahasa memiliki sifat dasar yang cair. Kata tidak selalu tuntas untuk dimaknai.
Secara harfiah, slogan diartikan sebagai kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu atau menjelaskan tujuan suatu ideologi golongan, organisasi, partai politik, dan sebagainya.Â
Slogan adalah a short and striking or memorable phrase used in advertising. Demikian begitu, slogan berfungsi sebagai sarana komunikasi pesan yang hendak menyampaikan kepada khalayak tentang ajakan, anjuran, harapan atau tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak terkait.Â
Oxford dictionary menyebutkan, istilah slogan muncul pada awal abad XVI Masehi. Istilah ini dikenalkan lewat bahasa Scottish Gaelic. Istilah slogan merupakan bentuk gabungan kata antara "sluagh" dan "ghairm". Kata "sluagh" berarti tentara, "gairm" berarti berteriak. Dengan kata lain, istilah slogan diartikan sebagai teriakan perang.Â
Seiring waktu, makna slogan berubah, dialihfungsikan menjadi media pesan yang bertujuan menyampaikan pesan-pesan ideologi tertentu atas dasar kepentingan-kepentingan politis. Slogan menjadi bagian tak terpisahkan dari propaganda. Slogan menjadi alat penyebaran propaganda.
Slogan pada akhirnya menjadi alat untuk memengaruhi masyarakat agar mau dengan sukarela menjadi pengikut paham-paham atau kekuatan-kekuatan politik tertentu.Â
Slogan menjadi semacam alat guna memenangi kontestasi hegemoni ideologi. Di saat bersamaan, kata-kata yang digunakan sebagai slogan adalah kata-kata yang memiliki daya ungkap emosif yang seolah-olah memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat.Â
Hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa aspek emosi di dalam pemakaian bahasa, utamanya pemilihan kata, mampu memberi semacam daya pada kata-kata. Pilihan kata yang tepat diyakini akan mampu memengaruhi masyarakat.
Di era kini, slogan tak hanya sebagai alat propaganda politik. Ia difungsikan pula sebagai media iklan. Slogan juga telah diyakini sebagai cara ampuh untuk menciptakan citra.Â
Slogan menjadi begitu penting sebagai brand image. Tetapi, tidak selamanya makna ungkapan yang berbau slogan tersebut sejalan dengan bentuk ungkapan yang digunakan.
Meminjam perspektif sosiologi media Tuchman, hal tersebut terjadi karena campur tangan pihak terkait di dalam mengonstruksi realitas di dalam memaknai setiap ungkapan.Â
Dengan kata lain, ada kecenderungan untuk memaksa publik di dalam memahami makna setiap ungkapan yang dikehendaki oleh si pemilik ungkapan melalui sudut pandang tertentu.Â
Oleh karena itu, slogan pada dasarnya merupakan sebuah ungkapan yang dipaksakan agar diterima dan diamini oleh konsumen (masyarakat). Slogan, dalam hal ini merupakan sebuah ungkapan yang cenderung bersifat persuasif-imperatif.Â
Tampak bahwa slogan telah menjadi bagian dari sebuah proyek yang oleh Derrida disebut sebagai logosentrisme. Di dalamnya terkandung maksud upaya untuk melegitimasi institusi sebagai (meminjam istilah yang dikenalkan Karl Marx) super struktur. Dalam pemikiran yang demikian, lembaga yang memberi pernyataan dianggap memiliki kekuasaan penuh untuk memaksa atas maksud yang diinginkan.
Tetapi, melalui perspektif dekonstruksi, pemaknaan tunggal yang dikehendaki oleh otoritas pemberi pernyataan tersebut digugurkan. Makna dikembalikan pada publik, karena tanpa kehadiran publik sebuah ungkapan dalam berbagai bentuk dan media yang digunakan akan menjadi
Pengertian ini jelas memperlihatkan suatu gejala bahwa makna kata di dalam slogan menjadi tunggal. Makna slogan hanya didasarkan atas kepentingan ideologis yang diamini oleh kelompok sosial tertentu.Â
Hal ini menunjukkan pula adanya sebuah keyakinan terhadap kemampuan slogan di dalam memengaruhi khalayak. Slogan dianggap memiliki daya kata yang mampu membuat khalayak percaya tanpa harus memeriksa ulang kemungkinan adanya makna yang tersembunyi atau makna yang meleset dari pemakaian kata.Â
Dengan kata lain, makna slogan ditentukan oleh pencetusnya. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika pernyataan-pernyataan yang beraroma slogan itu diperiksa ulang. Dibedah dengan menggunakan perspektif dekonstruksi.
Dalam perspektif dekonstruksi yang dikemukakan Derrida, makna kata merupakan sebuah perjalanan panjang yang secara terus-menerus bergulir. Dengan kata lain, tidak ada makna yang tuntas atas setiap kata. Tetapi, dekonstruksi---sebagaimana diandaikan Derrida---bukan sebuah metode interpretasi, melainkan sebuah cara untuk menyelidiki jejak yang ditinggalkan oleh kata di sepanjang pemaknaan kata.Â
Di sisi lain, melalui penelusuran jejak ini pemaknan kata pada gilirannya akan menciptakan oposisi biner. Dari sinilah, kemudian dekonstruksi dioperasikan sebagai cara membongkar pemikiran-pemikiran yang bergaya logosentris.
Pembongkaran logosentrisme di dalam makna kata pada gilirannya membuka peluang bagi upaya-upaya penciptaan makna baru, tetapi makna tersebut tidak lantas mengganti makna yang telah ada.Â
Sebaliknya, makna baru yang dihasilkan justru akan melengkapi makna-makna yang telah diproduksi sebelumnya. Makna baru inilah yang nantinya akan memunculkan jejak baru di antara jejak makna-makna lain yang berkelindan. Melalui perspektif dekonstruksi, makna pada akhirnya tidak ditentukan oleh otoritas yang memberikan pernyataan melainkan oleh bagaimana kata itu dimaknai sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari kehendak sang pemberi pernyataan.
Mendasarkan pada prinsip itulah makna kalimat tersebut tidak lagi tunggal. Kalimat tersebut hanya ditempatkan sebagai kalimat yang dapat dimaknai secara bebas. Tetapi, bukan berarti pemaknaan yang bebas tersebut kemudian menisbikan makna sebelumnya. Sebaliknya, makna yang telah ada digunakan sebagai upaya menelusuri jejak makna yang tersembunyi. Sebagai upaya untuk membongkar logosentrisme di dalam pemaknaan terhadap kalimat tersebut.
Secara harfiah, slogan diartikan sebagai kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu atau menjelaskan tujuan suatu ideologi golongan, organisasi, partai politik, dsb. Pengertian ini jelas memperlihatkan suatu gejala bahwa makna kata di dalam slogan menjadi tunggal.Â
Makna slogan hanya didasarkan atas kepentingan ideologis yang diamini oleh kelompok sosial tertentu. Hal ini menunjukkan pula adanya sebuah keyakinan terhadap kemampuan slogan di dalam memengaruhi khalayak.Â
Slogan dianggap memiliki daya kata yang mampu membuat khalayak percaya tanpa harus memeriksa ulang kemungkinan adanya makna yang tersembunyi atau makna yang meleset dari pemakaian kata. Dengan kata lain, makna slogan ditentukan oleh pencetusnya.Â
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika pernyataan-pernyataan yang beraroma slogan itu diperiksa ulang. Dibedah dengan menggunakan perspektif dekonstruksi.
Anjuran agar masyarakat menjadi pemilih cerdas dalam berbagai ragam ungkapan, secara awam diartikan sebagai seruan agar masyarakat memilih para caleg secara cermat dan cerdas. Harapannya, agar masyarakat tidak salah memilih orang yang akan didudukkan sebagai wakil mereka.
Memang, tampak bahwa pada kalimat tersebut seolah-olah tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tetapi, hemat saya, kalimat yang sederhana ini patut untuk ditelisik. Kalimat tersebut layak untuk diperbincangkan kembali sebab di dalam kalimat tersebut terkandung makna yang ambigu.
Pertama, jika kalimat itu merupakan sebuah anjuran atau seruan agar masyarakat cerdas dalam memilih, maka makna tersirat pada kalimat tersebut adalah masyarakat dianggap tidak atau kurang cerdas.Â
Pertanyaannya kemudian, kalau masyarakat dianggap tidak atau kurang cerdas bagaimanakah sesungguhnya negara memainkan peran dan fungsinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Padahal, di dalam UUD 1945 telah disebut dan diatur bagaimana negara dan rakyat berperan aktif di dalam usaha mencerdaskan bangsa.
Kedua, jika masyarakat sudah dianggap tidak atau kurang cerdas, maka apakah ini bisa dianggap sebagai sebuah sangkaan buruk terhadap perilaku masyarakat? Bahwa masyarakat dianggap tidak atau kurang cerdas di dalam bersikap.Â
Kalau hal ini yang muncul, apakah ini artinya bahwa negara telah membiarkan ketidakcerdasan ini tinggal di dalam masyarakat? Atau dengan pernyataan yang mungkin lebih tajam apakah hal ini dapat dikatakan bahwa negara sengaja membikin sistem yang ditujukan untuk membodohi masyarakatnya?
Ketiga, jika masyarakat dituntut untuk cerdas memilih, bagaimana dengan para caleg yang akan dipilih? Apakah mereka juga dituntut untuk cerdas sebagai orang pilihan? Jika iya, mengapa praktik politik uang dan kecurangan-kecurangan di dalam pemilu masih terjadi? Inikah cara cerdas para caleg?
Keempat, jika masyarakat dianjurkan untuk menjadi pemilih yang cerdas, maka sebenarnya pernyataan tersebut memberi isyarat bahwa sebenarnya masih terdapat caleg-caleg yang dikategorikan sebagai orang yang tidak atau kurang cerdas. Jika demikian, kecerdasan yang seperti apa yang menjadi tolok ukurnya? Dari hal ini, sebenarnya masyarakat dan caleg memiliki hak yang sama, yakni untuk menjadi pemilih dan pilihan yang cerdas.
Kelima, kalimat tersebut kerap muncul sebagai kampanye yang dilakukan oleh pihak terkait di dalam menanggulangi minimnya angka partisipasi masyarakat, praktik kecurangan dalam pemilu, dan seputar masalah golput. Maka dari itu, lewat kalimat tersebut muncul pula sebuah pertanyaan, jika gejala-gejala itu terbaca apakah tidak ada tindakan yang mampu menanggulangi masalah-masalah tersebut?Â
Tentunya, perlu dibaca pula gejala tersebut lewat berbagai perspektif sehingga akar masalah dapat diungkap dan dicari jalan keluarnya. Rendahnya angka partisipasi tentunya juga perlu dikorelasikan dengan tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat atas kinerja legislatif. Praktik kecurangan pemilu (seperti politik uang atau kampanye hitam) perlu pula dihubungkan dengan integritas para caleg.
Tentu, ini bukan tugas yang ringan. Bukan pula hanya menjadi tugas panitia penyelenggara pemilu. Masalah ini adalah masalah bersama, tugas bersama. Semua elemen perlu memberi dukungan terhadap upaya meningkatkan kualitas pemilu. Karena upaya yang dilakukan adalah meningkatkan kualitas pemilu maka semestinya angka partisipasi yang hanya menampilkan data statistik tidak dijadikan parameter kualitas penyelenggaraan acara lima tahunan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H