Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nama La Rose yang Asing di Dunia Akademisi Kota Kelahirannya

27 Mei 2023   14:36 Diperbarui: 30 Mei 2023   12:45 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Kang Maman S. Mahayana ketika menghadiri Simposium Internasional Sastra Indonesia di Bali 2019 silam (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Kawan saya yang seorang pengajar sastra di salah satu perguruan tinggi di Pekalongan mengaku tidak mengenal nama La Rose. 

Pengakuan ini membuat saya prihatin. Lebih-lebih, kawan saya yang satu ini adalah kelahiran Pekalongan dan sama-sama seorang perempuan. Betapa Ironi. 

Keprihatinan saya ini makin menjadi ketika kembali membaca komentar Kang Maman S. Mahayana, seorang dosen di Universitas Indonesia, yang dilayangkan melalui kolom komentar di postingan facebook. 

Menurut beliau, sosok La Rose merupakan perempuan pengarang penting di era 70an. Tulisnya, "Ia salah satu penulis perempuan yang prolifik. Awal 1970-an ditandai dengan munculnya para penulis perempuan".

Memang, La Rose atau nama aslinya Jenny Mercelina Laloan merupakan pengarang perempuan yang produktif. Banyak novel yang telah ditulisnya dan diterbitkan. Dalam satu tahun, ia dapat menyelesaikan sedikitnya dua buku novel. Itu terjadi dalam rentang tahun 1976-1987.

Selain menulis novel, pengagum Dostoyevski ini juga aktif cerpen dan puisi di sejumlah media massa ternama. Juga menulis kolom di sejumlah majalah ternama. Khususnya, majalah Kartini.

Di majalah Kartini, nama perempuan pengarang yang juga perancang mode ini begitu dikenal. Terlebih karena kolom yang diasuhnya banyak mengetengahkan topik-topik hubungan suami-istri dan seputar masalah keluarga. 

Perihal yang diminati betul oleh kalangan perempuan. Apalagi di dalam penyajian topik-topik yang dibahasnya cenderung mengedepankan permasalahan kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam keluarga.

Rasa-rasanya aneh ketika seorang dosen sastra kelahiran Pekalongan dan mengajar di perguruan tinggi di Pekalongan justru tidak mengenal siapa itu La Rose. 

Terasa betul jarak yang merentang jauh antara dunia akademik dengan fakta yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Pekalongan, khususnya. Tetapi, baiknya saya tak memperpanjang permasalahan itu. Cukup tahu saja.

Sekarang, lebih baik saya ambil napas panjang untuk melanjutkan tulisan yang telah saya unggah di kompasiana.com pada 26 Mei 2023, dini hari. Saya akan memusatkan perhatian saya pada hasil wawancara saya dengan Kang Maman S. Mahayana.

Pada bagian awal wawancara, saya meminta Kang Maman sedikit menceritakan tentang siapa itu La Rose, pengarang yang juga seorang penyiar radio. 

Menurutnya, La Rose merupakan seorang pengarang yang muncul pasca 65. Nama La Rose menjadi penting bagi dunia kepengarangan, serta bagi peta sejarah sastra di Indonesia.

Kang Maman juga mengisahkan, betapa pada masa itu kemunculan perempuan pengarang memberikan dobrakan besar bagi tonggak sejarah gerakan perempuan. 

Mereka, para perempuan pengarang (termasuk La Rose), kerap menyuarakan hak-hak perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih khusus lagi, tentang posisi perempuan yang kerap didomestifikasi oleh budaya patriarki.

La Rose, bagi Kang Maman, merupakan perempuan pengarang yang kritis terhadap persoalan-persoalan tersebut. Jika pada sejumlah pengarang perempuan lain di masa yang sama cenderung menuliskan tentang kehidupan elitis, La Rose justru tidak demikian. 

Ia menulis masalah kehidupan dengan bahasa yang lugas dan terbuka. Ia banyak menulis tentang kehidupan perempuan yang hidup di tengah masyarakat pinggiran. Rata-rata, kaum perempuan ini terpinggirkan oleh budaya patriarki yang berlaku.

Memang, seperti diakui Kang Maman, tulisan-tulisan La Rose cenderung menggunakan bahasa yang lugas dibandingkan dengan gaya bahasa yang berlapis-lapis. 

Akan tetapi, bukan berarti bahwa tulisan La Rose tidak memiliki kualitas. Justru sebaliknya, tulisan-tulisan La Rose menjadi catatan penting yang mestinya terus dibaca dan diulas secara mendalam, khususnya di ruang-ruang akademis.

Sayangnya, untuk menghadirkan La Rose ke dalam ruang diskusi akademis nampaknya masih sangat terbatas. Hal itu, oleh Kang Maman, dipandang sebagai akibat dari cara pandang yang keliru terhadap karya sastra. Paradigma mengenai sastra kanon membuat karya-karya La Rose dipandang sebelah mata oleh para pengkaji sastra.

Tersebab itu, Kang Maman mengungkapkan, di era kini paradigma kanonik itu mestinya sudah tidah perlu lagi dipertahankan. Artinya, sudah tidak perlu lagi ada pembatasan mana sastra kanon, mana sastra populer. 

Sebab, kata Kang Maman, kemunculan sastra-sastra kanon besar kemungkinan justru berangkat dari sastra populer. Namun, ketika sastra-sastra populer ini terus dikaji dan diulas, ia bisa saja akan didududkkan sebagai sastra kanon.

Meski begitu, Kang Maman juga memberi garis bawah. Bahwa untuk dapat mewujudkan hal itu, para akademisi yang ada di perguruan tinggi mesti bersikap terbuka. Menerima fakta, bahwa sastra populer juga memiliki kedudukan yang sama penting dengan sastra kanon. 

Kang Maman juga memberi saran, agar pengajaran sastra (khususnya di sekolah-sekolah) tidak alergi dengan sastra populer.

Di bagian lain, Kang Maman juga memberikan catatan, bahwa ketertarikan dan kesediaannya untuk diwawancara via telepon di acara Kojah Sastra tersebut juga disebabkan oleh rasa keterpanggilannya. 

Bahwa, tema yang diangkat oleh Kojah Sastra yang menempatkan sosok-sosok pengarang daerah merupakan perihal yang tepat. Ia menilai, selama ini keberadaan pengarang daerah kerap terabaikan. 

Hal itu akan sangat merugikan masyarakat di daerah, sebab daerah tersebut bisa saja terhapus dari peta sejarah sastra Indonesia. Selain itu, sosok-sosok pengarang ini bisa saja dijadikan sebagai contoh atau penyemangat bagi anak-anak muda untuk bisa meniru jejak mereka, berkiprah tidak sekadar di tingkat lokal, melainkan sampai tingkat nasional bahkan internasional.

Seperti yang dilakukan La Rose. Nama novelis ini begitu dikenal luas oleh masyarakat Malaysia dan Singapura. Karya-karyanya banyak yang dibaca oleh para penikmat sastra di dua negara jiran tersebut.

Untuk alasan itu pula, Kang Maman menyarankan agar pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan dunia kesusasteraan untuk ikut menampilkan sosok-sosok tersebut sebagai tokoh yang dihormati. 

Di kampus Pekalongan, perlu pula membuat kajian yang intens mengenai tokoh-tokoh satra di daerah. Juga tidak menutup kemungkinan bagi upaya untuk membuat semacam hari khusus untuk memperingati tokoh-tokoh sastra di daerah.

Bila perlu, dari hasil kajian-kajian yang dilakukan secara intens itu, muncul pula rekomendasi yang diajukan kepada pemangku kebijakan agar mereka memberikan penghargaan kepada para tokoh sastra di daerah. Tujuannya, agar para tokoh sastra tersebut dapat dijadikan sebagai ingatan kolektif masyarakat.

Di Pekalongan sendiri tak hanya nama La Rose. Ada sejumlah nama sastrawan yang penting lainnya. Sebut saja, Syu'bah Asa, EH Kartanegara, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, SNM Ratmana, Yunus Mukri Adi, dan lain sebagainya.

Di pengujung wawancara, Kang Maman sempat menyampaikan kesannya terhadap La Rose saat ia pernah menjumpainya. 

Menurutnya, La Rose adalah sosok pengarang besar. Itu terlihat dari sikapnya yang sangat rendah hati. Ia tidak sungkan-sungkan untuk belajar kepada yang lebih muda. Ia tidak merasa jumawa dengan apa yang sudah dicapainya.

Penuturan Kang Maman dalam wawancara yang berlangsung selama 30 menit itu membuat saya bersemangat untuk terus melanjutkan program siaran Kojah Sastra yang dipancarkan melalui menara siar FM 91,2 Radio Kota Batik. 

Setidaknya, turut menghidupkan kembali memori yang padam. Syukur, jika pada akhirnya para pendengar dapat menjadikan sosok-sosok itu sebagai ingatan kolektif yang dimiliki oleh masyarakat Kota Pekalongan.

Ya, melalui corong radio, saya berharap dunia kesusasteraan di daerah tidak beku. Terkotakkan oleh dinding-dinding pembatas ruang-ruang kelas, tanpa bisa melakukan terobosan, tanpa mampu melakukan lompatan untuk melampaui batas-batas itu.

Melalui gelombang radio pula, semoga kebekuan itu dapat mencair. Setidaknya, lewat celah-celah ventilasi yang tersisa, lantaran kini gedung-gedung yang dihuni para pakar di Pekalongan itu cenderung tanpa lubang udara. 

Maklum, ruangannya sudah terpasang mesin pendingin udara yang menghembuskan freon yang sesungguhnya tak ramah lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun