Pada bagian awal wawancara, saya meminta Kang Maman sedikit menceritakan tentang siapa itu La Rose, pengarang yang juga seorang penyiar radio.Â
Menurutnya, La Rose merupakan seorang pengarang yang muncul pasca 65. Nama La Rose menjadi penting bagi dunia kepengarangan, serta bagi peta sejarah sastra di Indonesia.
Kang Maman juga mengisahkan, betapa pada masa itu kemunculan perempuan pengarang memberikan dobrakan besar bagi tonggak sejarah gerakan perempuan.Â
Mereka, para perempuan pengarang (termasuk La Rose), kerap menyuarakan hak-hak perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih khusus lagi, tentang posisi perempuan yang kerap didomestifikasi oleh budaya patriarki.
La Rose, bagi Kang Maman, merupakan perempuan pengarang yang kritis terhadap persoalan-persoalan tersebut. Jika pada sejumlah pengarang perempuan lain di masa yang sama cenderung menuliskan tentang kehidupan elitis, La Rose justru tidak demikian.Â
Ia menulis masalah kehidupan dengan bahasa yang lugas dan terbuka. Ia banyak menulis tentang kehidupan perempuan yang hidup di tengah masyarakat pinggiran. Rata-rata, kaum perempuan ini terpinggirkan oleh budaya patriarki yang berlaku.
Memang, seperti diakui Kang Maman, tulisan-tulisan La Rose cenderung menggunakan bahasa yang lugas dibandingkan dengan gaya bahasa yang berlapis-lapis.Â
Akan tetapi, bukan berarti bahwa tulisan La Rose tidak memiliki kualitas. Justru sebaliknya, tulisan-tulisan La Rose menjadi catatan penting yang mestinya terus dibaca dan diulas secara mendalam, khususnya di ruang-ruang akademis.
Sayangnya, untuk menghadirkan La Rose ke dalam ruang diskusi akademis nampaknya masih sangat terbatas. Hal itu, oleh Kang Maman, dipandang sebagai akibat dari cara pandang yang keliru terhadap karya sastra. Paradigma mengenai sastra kanon membuat karya-karya La Rose dipandang sebelah mata oleh para pengkaji sastra.
Tersebab itu, Kang Maman mengungkapkan, di era kini paradigma kanonik itu mestinya sudah tidah perlu lagi dipertahankan. Artinya, sudah tidak perlu lagi ada pembatasan mana sastra kanon, mana sastra populer.Â
Sebab, kata Kang Maman, kemunculan sastra-sastra kanon besar kemungkinan justru berangkat dari sastra populer. Namun, ketika sastra-sastra populer ini terus dikaji dan diulas, ia bisa saja akan didududkkan sebagai sastra kanon.