"Ini kali ketiganya aku berhadapan dengan para malaikat utusan Tuhan. Dan ini kali ketiganya aku katakan perihal yang sama. Wahai engkau yang selalu datang tanpa dinyana-nyana, aku kira kau telah mendengar semua berita itu bukan?" tanya Bumi.
Dengan tegas, malaikat yang satu ini menjawab, "Ya! Aku sudah mendengar semuanya!"
"Lalu, apa keputusanmu?" tanya Bumi.
"Sudah jelas, bahwa apa yang diperintahkan Tuhan, bagiku, adalah keharusan. Tak ada jalan lain, aku harus melakukannya!" tandas malaikat itu.
"Bukankah Tuhan memberimu catatan, selama aku merelakan?" sergah Bumi.
"Kau dan aku sama-sama makhluk. Kau dan aku sama-sama hamba-Nya. Dan, hanya Tuhan yang berhak memerintah hamba-hamba-Nya. Sementara, kita; kau dan aku, hanya bisa menerima perintah itu dan melaksanakannya. Titik!" tukas malaikat itu dan lekas-lekas ia menyentuh tanah serasa hendak menjumput tanah itu dari Bumi.
"Tunggu!" cegah Bumi.
"Apa yang mesti aku tunggu? Apakah kau ingin menjadi pembangkang, padahal kau sendiri tahu betapa beratnya beban derita yang mesti ditanggung pembangkang? Dan, apa kuasamu untuk membangkang?!" seru malaikat itu menyergah.
Ucapan malaikat itu membungkam Bumi. Tak ada lagi kata-kata yang sanggup ia ucapkan. Tak ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan alasan lagi. Hingga akhirnya, ia merelakan tanahnya meski masih ada sesuatu yang membuatnya berat hati.
Dalam keadaan lemah itu, malaikat itu bergegas mencabut tanah dari Bumi. Begitu cepat ia bergerak dari ujung timur dan barat, mencabut sebagian dari tanah di kedua ujung itu. Kemudian, ia bergerak lagi menuju ujung utara dan selatan, mencabut sebagian tanah dari ujung utara dan selatan.
"Baiklah, Bumi. Telah aku tunaikan tugasku. Sekarang, aku pamit!" ucap malaikat itu sambil berlalu dari hadapan Bumi.