"Aku paham. Aku cukup mengerti perasaanmu, Bumi. Dan apa yang kau ketahui tentang neraka itu membuatku cukup mengerti alasanmu itu. Aku bisa menangkap apa yang kau gambarkan itu," balas Mikail.
Bumi tersenyum, lalu berkata, "Aku lega, kau bisa mengerti apa yang aku maksud. Tetapi, masih tersisa satu pertanyaan untukmu."
"Apa itu?" tanya Mikail.
"Masihkah kau akan mencabut sejumput tanah dari tubuhku ini?" tanya Bumi.
"Seperti yang dititahkan padaku, Tuhan hanya memberiku izin mencabut tanahmu jika kau merelakannya. Tetapi, mendengar alasanmu itu, aku cukup tahu apa jawabanmu," balas Mikail. "Baiklah, akan aku sampaikan alasanmu itu. Aku pamit."
Dua malaikat telah melaksanakan tugas mereka. Tetapi, tak satu pun berhasil membawakan sejumput tanah. Mikail, malaikat penjaga matahari, pun tak sanggup melakukannya. Gambaran neraka yang diungkap oleh Bumi membuatnya dihadapkan pada bayang-bayang kehidupan yang murung. Seolah-olah tak ada daya.
Di hadapan Tuhan, selepas ia berpamitan dari Bumi, Mikail menjelaskan begitu panjang mengenai kegelisahan yang dirasakan Bumi. Wajahnya tampak murung, memikul beban penderitaan yang dirasakan Bumi. Sejak itu pula, Tuhan lantas menitahkannya untuk menjalankan tugas sebagai malaikat yang senantiasa menumbuhkan dan membangkitkan harapan setiap umat manusia dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Membagikan rezeki, mencurahkan hujan, dan menjaga keseimbangan terang sinar matahari.
Setelah sebentar mengisahkan kejadian itu, kiai muda itu sebentar menghentikan tuturannya. Agak lebih lama dari sebelumnya. Ia pejamkan mata sejenak. Kemudian, ia raih kain surban di bahunya. Ia usap wajahnya yang tampak mulai berkeringat. Lalu, ia usap pula kedua matanya. Setitik air mata berlinangan di sudut kedua matanya.
Orang-orang terdiam. Beberapa sesepuh dan takmir masjid, badan mereka tampak sedikit menyorong ke depan. Mereka saling bertatapan satu sama lain. Tampak pula raut wajah yang mulai gelisah. Beberapa pula tampak mereka saling berbisik.
Salah seorang kiai sepuh kampung mendekatkan wajahnya ke Pak Lebe. Ia berbisik, "Pak Lebe, kalau memang beliau tak sanggup meneruskan, lebih baik disudahi saja, Pak."
Pak Lebe mengangguk. Lekas-lekas ia berancang-ancang bangkit dari duduknya. Tetapi, kiai muda itu rupanya mengetahui gelagat itu dan segera mencegahnya. Kiai muda itu tersenyum dan mengangguk kecil kepada Pak Lebe.