Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Atas Mimbar

21 April 2023   04:00 Diperbarui: 21 April 2023   04:33 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: (dok.pribadi)

Kisah pun berlanjut. Kiai muda itu mengalirkan kisah itu lagi.

Setelah tak berhasil mencabut tanah dari Bumi, Jibril melaporkan peristiwa kegagalannya itu kepada Tuhan. Laporan itu diterima. Tuhan tak keberatan dengan kegagalan itu. Tuhan juga tahu jika hal itu akan terjadi. Dan dari peristiwa itu, Jibril pun pada akhirnya mengerti, apa dan siapa dirinya, juga bagaimana mestinya ia mesti bertindak.

"Baiklah, Jibril. Aku terima laporanmu itu. Setidaknya, kau telah melakukan apa yang menjadi tugasmu dengan baik. Kau menyampaikan pesan-Ku dengan sebaik-baiknya," kata Tuhan kepada Jibril. "Sekarang, kembalilah ke tempatmu."

Jibril segera beringsut. Pamit dari hadapan Tuhan.

Berikutnya, adalah Mikail. Malaikat yang menahan Matahari agar tetap pada garis orbitnya. Tuhan memanggilnya dan mengutusnya untuk melaksanakan tugas yang sama seperti Jibril, malaikat yang senantiasa ia dampingi dalam menjalankan tugasnya.

Segeralah Mikail menuju ke Bumi. Saat itu, Bumi menyambut kedatangan Mikail dengan sebuah tanda tanya besar, mengapa ia harus berhadapan dengan malaikat penyangga Matahari ini? Ada berita apa gerangan? Ada perihal penting apa yang membuatnya demikian?

Tanpa ragu, Bumi pun menyambut kedatangan Mikail dengan pertanyaan-pertanyaan, "Wahai malaikat penjaga Matahari, apakah kedatanganmu tak lebih sama dengan saudaramu, Jibril? Jika iya, maka apakah kau tak mengetahui apa yang terjadi? Kalau bukan, katakan padaku, apa maksud kedatanganmu?"

"Kau benar, wahai makhluk Tuhan yang sungguh bijaksana dan dimuliakan Tuhan. Kedatanganku tak lain untuk sebuah perihal yang kurang lebihnya sama dengan yang dilakukan saudaraku, Jibril. Dan, aku telah mendengar bahwa kau tak menginginkan itu terjadi. Lalu, apa sesungguhnya alasanmu, sehingga kau berani menolaknya, wahai Bumi?" ucap Mikail.

"Sungguh, aku sebenarnya tak menolaknya, wahai malaikat yang selalu bersama Jibril. Aku hanya tak kuasa menahan rasa pedih api neraka, jika suatu kelak ada sebagian kecil dariku yang diceburkan ke dasarnya. Dan sekarang aku bertanya padamu, apakah kau juga akan tega membiarkan bagian dari dirimu diceburkan ke dalam kolam api yang memedihkan itu walau hanya sebutir debu? Sungguh, bagiku, membayangkan hal itu terjadi membuatku seperti dibayang-bayangi oleh rasa bersalah yang teramat, yang sulit untuk aku hapus dari ingatanku," terang Bumi pada Mikail.

Perkataan Bumi membuat Mikail terpaku membisu. Ia tak sanggup mengucapkan barang satu kata.

"Wahai malaikat yang mengedarkan matahari, bukankah kau sendiri kerap melihat, betapa semua makhluk di alam raya ini menginginkan hidup dalam rasa bahagia? Mereka tak sedikit pun menghendaki hidup dalam penderitaan. Sedang, neraka adalah seburuk-buruknya penderitaan. Senista-nistanya kehidupan. Sepedih-pedihnya siksaan. Maka, siapapun itu pastinya tak menghendaki bagian dari dirinya mengalami derita yang teramat perih. Tak terkecuali aku," ucap Bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun