Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Atas Mimbar

21 April 2023   04:00 Diperbarui: 21 April 2023   04:33 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: (dok.pribadi)

Seketika wajah Bumi berubah. Jawaban Jibril membuatnya benar-benar terkejut. Terlebih, ketika ia membayangkan kepedihan yang tak tertandingi yang diakibatkan oleh siksa neraka. Ia tak sanggup membayangkan jika bagian dari dirinya terjerembab ke dalam lembah kepedihan dan siksaan yang nista itu.

"Benarkah yang aku dengar ini, wahai Jibril?" tanya Bumi menyangsikan.

Jibril hanya mengangguk. Lalu, ia lanjutkan ucapannya, "Dan Tuhan telah memerintahkanku saat ini untuk mencabut dari bagian tubuhmu, sejumput sari pati tanahmu, wahai Bumi. Itu pun jika engkau mengizinkan dan merelakannya."

"Tidak! Tidak, Jibril!" tukas Bumi, "Aku tidak akan merelakan bagian dari diriku ini masuk ke dalam neraka. Bukankah kau juga tahu, betapa pedihnya dan sakitnya neraka, wahai Jibril? Aku sungguh tak sanggup membayangkan, jika kelak ada dari sebagian tubuhku ini, yang dicipta sebagai manusia itu, tercebur ke dasar neraka. Sungguh betapa aku juga akan merasakan sakitnya, Jibril!" ucap Bumi diiringi tangisnya yang teramat pilu. Membayangkan, bagaimana jika suatu kelak manusia yang dicipta dari sebagian tubuhnya disiksa dalam neraka.

Tak kuasa menyaksikan kepiluan itu, Jibril membisu. Tak sepatah kata pun terucap.

"Sungguh, aku tidak merelakan itu terjadi, Jibril!" seru Bumi.

Jibril cukup mengerti kepiluan yang dirasakan Bumi. Ia pun tak sanggup memaksa. Pun ia mesti tunduk pada perintah Tuhan. Bahwa, ia tak bisa memaksa mencabut sejumput tanah dari Bumi tanpa restu Bumi.

"Baiklah, jika itu keputusanmu. Aku bisa mengerti perasaanmu, Bumi. Dan, sebagaimana telah diperintahkan Tuhan padaku, setidaknya aku telah menyampaikan kabar itu kepadamu. Selebihnya, aku tidak diutus untuk memaksamu menerima keputusan itu. Akan aku sampaikan keputusanmu itu di hadapan Tuhan. Sekarang, aku pamit," pungkas Jibril yang kemudian kembali menghadap Tuhan.

Lagi-lagi, kiai muda itu menjeda kisah itu. Ia edarkan pandangan matanya ke segala penjuru. Ditatapnya orang-orang yang terhenyak dalam keheningan. Kisah itu seperti membawa mereka pada sebuah bayangan masa lampau yang teramat jauh. Melemparkan mereka ke dalam dimensi ruang-waktu yang tak terjangkau oleh nalar.

Tentang peristiwa penciptaan manusia, selama ini, yang mereka pahami semuanya seolah berjalan mulus. Tak ada dialektika yang demikian mengaduk-aduk perasaan. Tak ada sesuatu yang membuatnya demikian bermakna. Tetapi, kisah yang dituturkan kiai muda itu membuat mereka mulai berpikir, betapa besar kasih sayang yang diberikan Bumi kepada makhluk ciptaan Tuhan yang paling disayang Tuhan itu. Manusia. Dan, semua orang yang ada di dalam masjid itu adalah manusia.

"Bapak dan Ibu, Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah," sapa kiai muda itu sembari melanjutkan tuturannya, "Malaikat sekelas Jibril pun tak kuasa mencabut sejumput tanah dari Bumi. Padahal, kita semua tahu, betapa Jibril adalah malaikat yang ketaatannya luar biasa. Tetapi, ketaktegaannya, juga ketaktegaan Bumi, menunjukkan betapa manusia, termasuk kita semua ini benar-benar menjadi makhluk yang disayang Allah. Dan karena rasa cinta Allah itu pula, penciptaan manusia mesti terjadi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun