Pada kesempatan itu pula, Pak Lurah meminta saya membacakan sebuah puisi. Saya tak keberatan. Saya terima dengan senang hati.
Saat jeda tiba, ketika semua tetamu sedang menyantap hidangan yang dipersiapkan istri saya, saya mulai mencari-cari puisi mana yang akan saya bacakan. Menjelang usai waktu jeda, saya pun berdiri dan meminta izin untuk membacakan puisi. Waktu itu, puisi yang saya bacakan berjudul "Kasbon" karya WS. Rendra. Kurang lebih, begini bunyi puisinya:
Kasbon
Selembar kertas yang berisi angka-angka
tapi tidak ada tandatangannya
Itulah kasbon
Selembar kertas yang berisi angka-angka
menempel di dahi
dari wajah yang redup muram
karena jauh dari kenyataan
Itulah kasbon