Selembar kertas
yang akan membungkus jenazah pengangguran
Itulah kasbon
Jakarta, 24 April 1998
Tentu, setelah saya membacakan puisi itu ada yang bertanya-tanya. Mengapa "Kasbon"? Saya tidak bermaksud menyindir siapapun malam itu. Tetapi, saya hanya ingin mengajak semua yang hadir untuk sama-sama merefleksi diri. Jangan-jangan, negara ini sudah kebanyakan "kasbon".
Puisi usai saya bacakan. Acara dilanjutkan dengan dialog. Harapannya, lewat dialog itu akan diurai segala macam permasalahan yang dihadapi warga kelurahan. Namun, rupanya puisi "Kasbon" menjadi sorotan dalam dialog itu. Kasbon menjadi topik yang menghangat malam itu. Sampai-sampai terbawa dalam obrolan-obrolan di grup WA maupun ketika tanpa sengaja para Ketua RT/RW dan perangkat kelurahan bersua. Ah, kasbon!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H