Sabtu malam, 11 September 2021, menjadi malam yang sibuk bagi saya sekeluarga. Rumah saya ditempati untuk acara arisan RT/RW sekelurahan. Lepas dari waktu isya, saya dibantu mas Joko mulai menata kursi-kursi plastik berwarna hijau muda. Sementara lainnya, mulai mengalihkan arus lalu lintas jalan kampung yang sempit, dengan memasang papan penghalang. Juga ada pula yang menyiapkan tempat parkir kendaraan para tamu.
Di dapur, istri saya dan mbak Santi (istri dari santri saya, mas Rizqy) sibuk mengolah hidangan yang akan disajikan. Berbagai macam makanan ringan dipersiapkan. Plus, makanan penutupnya. Semua sibuk.
Tak berapa lama, satu per satu para tamu berdatangan. Mengisi kursi-kursi kosong yang sudah disediakan. Tampak mereka berbaju rapi. Sebagian besar mengenakan kemeja batik. Beberapa juga saya persilakan masuk ke ruang tamu. Maklum, rumah saya memang tak luas. Makanya, saya sediakan kursi supaya tidak berjubel dan bisa tetap menaati protokol kesehatan.
Pukul 20.00 tepat acara dimulai. Dibuka oleh MC tunjukan Ketua Paguyuban RT/RW kelurahan kami. Kemudian, serangkaian sambutan pun menyusul. Dimulai dari saya sebagai tuan rumah yang ketempatan acara, disusul Ketua Paguyuban, Bendahara Paguyuban, serta tentunya Pak Lurah.
Tentu, yang paling ditunggu adalah sambutan dari Pak Lurah. Semua berharap ada informasi baru. Entah itu tentang kebijakan dari pemerintah atau kabar baik lainnya. Khususnya, tentang kucuran dana-dana bantuan yang konon sedang deras-derasnya mengalir. Benar saja, rupanya ada informasi baru yang berkenaan dana-dana bantuan. Kata Pak Lurah, Pemerintah Kota Pekalongan telah membuat kebijakan baru. Terutama berkenaan dengan data penerima bantuan. Lewat kebijakan itu, Pak Wali berkeinginan agar data itu disesuaikan dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang dirilis oleh Kemensos.
Lalu, bagaimana jika ada warga yang belum terdata atau data yang tidak pas? Pak Lurah bilang, hal itu bisa disinkronkan. Artinya, warga boleh mengusulkan dirinya untuk dimasukkan ke data tersebut. Tentu, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Tetapi, soal apakah pengajuan usulan itu diakomodasi atau tidak, sepenuhnya bukan wewenangnya.
Yang jelas, sebelum dimasukkan data, si pemohon akan disurvey. Siapa yang nyurvey, lagi-lagi itu juga bukan tugas dari Pak Lurah dan jajarannya. Ada tim sendiri, katanya.
Entah, kabar ini layak dikategorikan kabar baik atau tidak, saya tidak tahu. Yang cukup melegakan saya malam itu adalah apresiasi Pak Lurah atas format acara malam itu. Kata Pak Lurah, formatnya beda banget. Nggak sama dengan yang sebelum-sebelumnya.
Biasanya, orang yang dapat giliran bicara hanya diserahi mikropon. Biasanya lagi, mereka yang dapat giliran bicara itu duduk lesehan di ruang tamu. Sementara, sebagian besar tetamu duduk di teras dan halaman. Alhasil, pembicaraannya kurang greget karena nggak bisa saling berhadapan.
Tetapi, malam itu saya sengaja meminta agar siapapun yang mendapat giliran bicara berdiri di teras rumah. Menghadap tetamu yang hadir. Sehingga, para tamu berkesempatan untuk lebih dapat memperhatikan pembicaraan para penyambut.
Komentar positif pun meluncur dari pernyataan Pak Lurah. Katanya, format yang seperti ini yang mestinya dijalankan, supaya semua yang hadir juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyimak apapun yang disampaikan dari para penyambut. Dengan cara ini pula, semua yang hadir mendapatkan penghormatan. Sebab, tidak ada jarak atau dinding yang membuat pembicara dengan pendengarnya seolah-olah terpisah.
Pada kesempatan itu pula, Pak Lurah meminta saya membacakan sebuah puisi. Saya tak keberatan. Saya terima dengan senang hati.
Saat jeda tiba, ketika semua tetamu sedang menyantap hidangan yang dipersiapkan istri saya, saya mulai mencari-cari puisi mana yang akan saya bacakan. Menjelang usai waktu jeda, saya pun berdiri dan meminta izin untuk membacakan puisi. Waktu itu, puisi yang saya bacakan berjudul "Kasbon" karya WS. Rendra. Kurang lebih, begini bunyi puisinya:
Kasbon
Selembar kertas yang berisi angka-angka
tapi tidak ada tandatangannya
Itulah kasbon
Selembar kertas yang berisi angka-angka
menempel di dahi
dari wajah yang redup muram
karena jauh dari kenyataan
Itulah kasbon
Selembar kertas
yang dilipat menjadi perahu kecil
hanyut di sungai airmata
yang tak jelas samodranya
Itulah kasbon
Matahari terbit...
Kasbon.
Matahari terbenam...
Kasbon.
Mimpi malam kaum peronda...
Kasbon.
Selembar kertas
yang akan membungkus jenazah pengangguran
Itulah kasbon
Jakarta, 24 April 1998
Tentu, setelah saya membacakan puisi itu ada yang bertanya-tanya. Mengapa "Kasbon"? Saya tidak bermaksud menyindir siapapun malam itu. Tetapi, saya hanya ingin mengajak semua yang hadir untuk sama-sama merefleksi diri. Jangan-jangan, negara ini sudah kebanyakan "kasbon".
Puisi usai saya bacakan. Acara dilanjutkan dengan dialog. Harapannya, lewat dialog itu akan diurai segala macam permasalahan yang dihadapi warga kelurahan. Namun, rupanya puisi "Kasbon" menjadi sorotan dalam dialog itu. Kasbon menjadi topik yang menghangat malam itu. Sampai-sampai terbawa dalam obrolan-obrolan di grup WA maupun ketika tanpa sengaja para Ketua RT/RW dan perangkat kelurahan bersua. Ah, kasbon!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H