Meski demikian, saya meyakini, masih ada banyak orang yang peduli. Beberapa tokoh kritikus sastra dari kampus masih setia mengawal arah kritik sastra. Mereka tak hanya memikirkan bagaimana sastra di kemudian hari.Â
Akan tetapi, juga secara terencana mengambil langkah-langkah strategis untuk memosisikan sastra secara tepat di dalam kehidupan masyarakat.Â
Tapi, jumlah orang-orang yang begini sangat mungkin tak terlalu banyak. Masih dibutuhkan banyak lagi orang-orang yang demikian. Berkomitmen untuk menjadi pengawal ilmu sastra. Untuk alasan itu, regenerasi sangat diperlukan.Â
Jelaslah sudah. Kini, di tengah-tengah banjir segala bidang, sastra Indonesia tampak gagap. Ia tak cukup berani mengambil risiko. Bahkan, tak cukup memiliki daya untuk bersikap.Â
Sehingga, banjir karya yang memenuhi segala penjuru tak diimbangi dengan kritik karya sastra. Dalam benak saya, sastra saat ini seperti dalam sebuah pilihan yang sulit; antara menyiapkan jaring atau membangun bendungan dengan menyiapkan skoci.Â
Jika pilihan pertama yang diambil, tentu membutuhkan energi yang sangat besar.Â
Tetapi, jika pilihan kedua yang disepakati, maka pertanyaannya adalah hendak pergi kemana dan apakah dengan skoci itu akan terjamin keselamatannya?
Sudah tentu, fenomena seperti ini menunjukkan ekosistem sastra sedang tidak baik-baik saja. Wajar jika kemudian kerap muncul pengulangan pertanyaan, 'Apa gunanya sastra bagi kehidupan, bagi pembangunan?'.Â
Dan lagi-lagi, Yang mengkhawatirkan, adalah ketika karya-karya itu pada akhirnya akan menjadi laiknya cuitan-cuitan liar di twitter yang memicu pertengkaran dunia maya.Â
Sementara, orang-orang bertepuk tangan melihat pertengkaran itu, lalu saat memalingkan muka, mereka meludah sambil mengumpat.Â
Oh! Akankah serendah itu, sastra? Semoga saja tidak. Sekalipun definisi sastra di era kini sudah sangat lain dibandingkan dengan batasan istilah sastra dalam bahasa asalinya, Sanskerta.