Menurut Bung Saut, proses seleksi yang dilakukan Balai Pustaka terlampau politis. Selain itu, tindakan Balai Pustaka yang meminggirkan karya-karya sastra di luar Balai Pustaka telah memberi sumbangan besar bagi penisbian atas upaya pencarian kaidah estetika maupun dunia pemikiran.
Sejak itu pula, tradisi Balai Pustaka menjadi langgeng. Catatan keprihatinan Yoseph Yapi Taum perkembangan sastra modern di Indonesia yang tercerabut dari akar sejarah budayanya, tentu menjadi tamparan.Â
Hingga pada akhirnya, seorang Gunawan Mohamad dan Arief Budiman pun menuliskan, betapa perkembangan sastra Indonesia modern ini mencapai pada titik yang sulit dimengerti.Â
Sastra Indonesia modern justru terasing di kampungnya sendiri, hingga boleh dibilang kehilangan cita-cita. Ia gelisah, tetapi kegelisahannya tak sampai menjadi jawaban atas semua keresahan yang berkecamuk.
Diakui atau tidak, campur tangan politik kekuasaan yang terlalu lama mencengkeram kesusastraan Indonesia modern, benar-benar telah membuahkan hasilnya.Â
Sastra, pada akhirnya hanya seperti seorang gadis penari yang lemah gemulai menggerakkan badannya di atas panggung, dengan sorot lampu yang menawan.Â
Tampak megah memang penampilannya. Tampak elegan dan bernyawa. Tetapi, selepas ia turun panggung, ia harus kembali menjadi seorang bakul pecel yang duduk bersila di bawah pohon beringin, di atas trotoar tepi alun-alun kota.Â
Itu masih mending, sebab masih bisa meladeni para tukang becak untuk melepaskan rasa lapar. Terkadang, masih bisa bersenda gurau dengan tukang-tukang parkir. Sastra?
Mungkin hanya dijumpai di bangku-bangku sekolah, dengan porsi yang sangat terbatas. Kalaupun ada lebih, tentu ini soal pilihan sikap seorang guru Bahasa Indonesia.Â
Mungkin karena kebetulan atau memang karena ia memiliki kecintaan yang lebih pada sastra, sehingga ia mau memberi waktu lebih untuk sekadar mengobrol dan bercerita dengan murid-muridnya mengenai sastra.Â
Apalagi jika figurnya sangat digandrungi murid-muridnya, mudah baginya untuk mengarahkan murid-muridnya agar mempelajari sastra dengan tekun. Di sisi lain, perlu pula kita tengok guru-guru non mapel Bahasa Indonesia.Â