Tak dinafikkan pula teori-teori besar dari masa lampau dibicarakan. Tetapi, lagi-lagi, agaknya ruang diskusi itu gelagapan ketika disodori fenomena yang terjadi di luar arena debat mereka.Â
Belum lagi, dengan masalah budaya membaca atau yang kemudian didengung-dengungkan sekarang dengan istilah budaya literasi.
Rendahnya minat baca yang kemudian disusul dengan banjir karya, menyuguhkan sebuah pemandangan yang paradoks. Tak mengherankan jika beberapa tokoh lain juga mempertanyakan, bagaimana kualitas karya-karya baru yang membanjir itu.Â
Sementara membaca belum sepenuhnya menjadi tradisi yang kuat, kok malah sekarang banyak karya baru bermunculan, nama-nama baru juga bermunculan di atas pentas dunia maya pada khususnya.
Memang, tidak bisa dianggap remeh keberadaan para pendatang baru di atas pentas karya itu. Mereka juga perlu diapresiasi dan diberi tempat yang pantas. Kehadiran mereka juga perlu disambut dengan suka cita.Â
Artinya, dengan kehadiran mereka membuahkan harapan baru. Bahwa kehidupan sastra barangkali saja masih akan bertahan lama. Kemeriahan ini perlu disyukuri. Tetapi, juga perlu diwaspadai.Â
Dengan syarat, kemeriahan sastra kekinian mesti disikapi dengan cara pandang yang positif. Berharap, kemeriahan ini merupakan berkah.
Sembari berprasangka baik, tentu saja kewaspadaan itu diperlukan. Banjir karya yang tak lagi bisa diurai, terlampau besar dan meluas itu perlu disikapi dengan sebijak-bijak mungkin. Segala daya mesti dikerahkan untuk mendukung upaya mengklasifikasikan tulisan-tulisan itu.
Sempitnya ruang diskusi yang tersedia, sudah pasti tak dapat difungsikan sebagai bendungan. Dan memang, sejak kemunculannya, sastra Indonesia modern tak pernah menyiapkan dirinya menjadi sebuah bendungan.Â
Ia hanya menyediakan tanggul besar yang harapannya susah dijebol. Berbagai peristiwa peminggiran atau bahkan pemberangusan karya-karya sastra tertentu cukuplah menjadi contoh nyata, bagaimana kerja sastra Indonesia dalam menyikapi segala macam perbedaan.
Seperti yang disangkakan oleh beberapa tokoh, Saut Situmorang salah satunya, sastra Indonesia modern hanya menyediakan pintu kecil bagi karya-karya tulisan yang bertebaran di ruang publik untuk diseleksi dan dinyatakan lolos atau tidak sebagai karya sastra. Ini tak bisa dilepas dari akar sejarah sastra modern di Indonesia yang diawali dengan kehadiran Balai Pustaka.Â