Terutama, di bidang sastra. Dalam sehari saja, kalau memang mau dihitung, ribuan atau bahkan ratusan ribu tulisan tercecer di sana-sini.Â
Ada yang berbentuk seperti puisi, ada pula yang dikreasikan sebagaimana prosa. Namun drama, sepertinya masih sangat terbatas.
Dengan memanfaatkan berbagai macam platform media sosial atau media-media baru, tulisan-tulisan itu bebas saja berenang-renang. Menariknya, semua tulisan itu bersuara. Mereka mengakui dirinya sendiri sebagai karya sastra.Â
Bagi saya, sah-sah saja mereka bersuara demikian. Lagipula, sejak kemunculan sastra Indonesia modern, karya yang dianggap mampu mewakili sastra Indonesia ya mesti berupa sastra tulis.Â
Artinya, suara mereka tidak bisa disalahkan dan sudah menjadi konsekuensi bagi sastra Indonesia modern.
Kendati demikian, ukuran sebuah tulisan menjadi layak disebut karya sastra masih sangat terbuka bagi perdebatan panjang.Â
Jangankan untuk disebut karya sastra, untuk dikukuhkan sebagai puisi atau prosa pun tak jarang masih ditemukan perbedaan pandangan di antara para pakar maupun para sastrawan. Pergulatan panjang di antara kedua kelompok ini terus saja berlangsung, nyaris tanpa henti, tanpa jeda.
Sayangnya, perdebatan di antara dua kelompok ini tak sampai keluar ruang diskusi mereka. Suara gaduh perdebatan itu lagi-lagi hanya membenturi dinding ruangan.Â
Memantul dan hanya bisa didengarkan oleh mereka sendiri sebagai gema. Kalaupun sampai terdengar dari luar ruangan, jangkauannya tak terlalu jauh. Mungkin hanya sampai di koridor yang sepi dan senyap.
Padahal, diskusi-diskusi yang mereka hadirkan menyodorkan berbagai macam menu sajian yang bergizi. Menyehatkan dan sangat enak, macam masakan yang dibikin oleh Guy Savoy, chef Perancis yang sanggup membanderol masakannya seharga 555 dolar Amerika. Sangat berkelas!
Gagasan-gagasan baru juga kerap dihidangkan di atas meja debat mereka. Terma-terma kekinian dengan beragam istilah asing yang keren turut pula menghias ruang debat itu.Â