Sedangkan pada puisi Benazir Nafilah, satu keistimewaan yang patut dicatat adalah perihal ekplorasi puitik. Puisi "Bagian 2" yang dimuat di Majalah Kidung edisi 12 tahun 2008. Lihat saja kutipan berikut: di kolam itu, aku berenang mengitari waktu. waktu yang mengibas-ngibaskan jantungku. cepat dan sesaat. Sungguh ini adalah perpaduan dunia konkret dan dunia abstrak yang jernih. Kata "kolam" yang bersifat benda konkret dipadukan dengan kata "waktu" yang bersifat abstrak. Hasilnya adalah metafor, yakni kata mampu melampaui arti sebenarnya. Kata memasuki medan tafsir yang begitu luas. Kata "kolam" menjadi tidak berhenti pada harafiah kolam. Sedangkan kata "waktu" dijinakkan menjadi citraan yang tertangkap oleh pengindraan. Konsep waktu menjadi akrab karena memperoleh gambaran konkret. Apalagi disusul dengan penjelasan waktu yang mengibas-ngibaskan jantungku. Perihal waktu yang telah dikonkretkan tersebut menyerobot masuk dalam pengalaman verbal manusia. Antara manusia dengan waktu menjadi dua wilayah yang sinergis. Tidak berjarak.
Kutipan puisi dari penyair keturunan Arab tersebut juga memperlihatkan ketajaman perspektif. Artinya, Benazir memberi timbangan penilaian atas obyek puitik. Saat ini, di jagad puisi Indonesia, perspektif yang tajam terhadap obyek puitik adalah suatu hal yang langka. Kesemuanya akibat perkembangan puisi yang banyak mengarah pada bentuk prosais dengan semangat liris.
Di luar pencapaian Benazir Nafilah dan Dian Nita Kurnia, beberapa penyair perempuan Jawa Timur juga terus mengasah metafornya. Ada nama-nama seperti Siti Fatimah (Surabaya), Utari (Banyuwangi), Arina Habaidillah (Lamongan), Azizah (Lamongan), Zahratul Umniyyah (Jember), Nisa Ayu Amalia (Surabaya), Zie Hefni (Malang), dan lain-lain.
Kita bisa menggantungkan harapan besar terhadap penyair Utari, dia kerap melakukan percobaan-percobaan kode bahasa estetik. Mulai dari jelajah tema, tipografi, pembaitan, asonansi, maupun ritme puitk. Suatu saat percobaan eksploratif tersebut tentu menghasilkan bentuk kematangan estetik. Sedangkan pada penyair Siti Fatimah, dengan kapasitas keilmuan dan aktivitas berkeseniannya, dia seharusnya sudah mampu memberi tawaran personalitas estetik.
Kecenderungan menarik muncul dari puisi Azizah dan puisi Nisa Ayu Amalia. Kedua penyair ini menampakkan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial. Misalnya puisi Azizah berjudul “Gadis Kecil Ampel”. Secara ilustratif, Azizah memaparkan pertemuannya dengan seorang gadis kecil yang berlari-lari dan berlompatan di antara makam-makam di kompleks pekuburan Ampel. Peristiwa itu sedemikian detail dipaparkan. Pembaca seakan diajak menyaksikan sendiri pengalaman puitik penyair. Begitu pula dengan puisi Nisa Ayu yang berjudul “Si-Mbah”. Berlatar belakang tragedi maut pembagian zakat di Pasuruan, Nisa menggambarkan si Mbah yang pulang diantar mobil jenazah. Uniknya, di situ digambarkan, si Mbah sama sekali belum pernah naik mobil. Artinya, si Mbah baru bisa naik mobil ketika sudah meninggal, yakni naik mobil jenazah. Nisa berhasil memadukan peristiwa besar dengan peristiwa kecil. Peristiwa besarnya berupa tragedi di Pasuruan sedangkan peristiwa kecilnya berupa pengalaman pertama naik mobil. Dan lepas dari besar kecilnya peristiwa, kedua gambaran tersebut sama-sama mengenaskan. Tragis.
Kembali pada fakta awal, tidak banyak penyair perempuan di Jawa Timur. Tapi kita tidak perlu terlalu sedih atau pesimistis. Di antara yang tidak banyak itu, kita memiliki beberapa penyair perempuan yang matang dan diharapkan bakal matang. Para penyair perempuan yang terus melakukan perhitungan kode bahasa estetik setajam penyair laki-laki semacam Mardi Luhung, Indra Tjahyadi, Mashuri, S Yoga, maupun Tjahjono kembar.
Puisi dan Kultural Jatim
Berada di antara masyarakat Jawa Timur, seseorang akan merasa berada di rumah sendiri. Setiap orang boleh menjadi dirinya sendiri, diperlegalkan menjalani tradisi independen. Kondisi yang tercipta oleh sebab di Jawa Timur tiada dunia simbolik. Berada di Yogyakarta, seseorang dari luar daerah akan terkondisikan untuk beradaptasi dengan tradisi Jawa, pengaruh keraton Yogyakarta terlalu sulit diabaikan.
Jawa Timur merupakan propinsi terbuka. Inilah sebuah kondisi yang bisa disebut puitik. Wilayah yang representaatif untuk datangnya tradisi luar dan gagasan baru. Tradisi dari luar tersebut, dalam skala minimal, dipakai dan dikembangkan oleh lingkup kecil masyarakat pembawanya.
Pluralitas bahasa dan tematik puisi para penyair Jawa Timur tidak terlepas dari kondisi kerentanan tradisi. Dunia simbolik Jawa Timur adalah sesuuatu yang ada di masa depan. Dunia simbolik yang menunggu untuk dibentuk. Mardi Luhung, penyair dari kota pantai Gresik, dalam puisi seringkali melakukan adopsi kultur pesisiran dengan percampuran kultur asing, bahkan kultur benua berbeda.