Tentang Akhudiat, sejak tahun 1970-an, Akhudiat sudah mampu menciptakan puisi penuh tawaran. Ram tam tam tam: Naik kereta roda kaki. (Alfin Toffler & Co, salut dari gubug). Si penumpang tidur molor, bangun menjelang lohor, ketika geludug bukan halilintar, di ranjang bawah tanah. RAM RAM TAM TAM TAAM RAM RAM RAM. Puisi Akhudiat ini bila dikerjakan secara serius, sangat mungkin akan mampu mencapai standar puitika Afrizal Malna.
Â
Kepenyairan Terkini
Puisi terus ditulis. Penyair-penyair baru tumbuh bersandingkan dengan penyair lama yang terus menulis. Beberapa nama penyair terkini patut mendapatkan apresiasi khusus. Misalnya Indra Tjahyadi, Muttaqien, F Aziz Manna, dan M Fauzi.
Indra Tjahyadi, inilah penyair di Indonesia yang paling gemar berfantasi. Permainan fantasi puisi Indra Tjahyadi tidak bisa dicari padanannya pada penyair-penyair era 1970-an atau 1980-an. Puisi Indra hanya bisa ditandingi oleh puisi Acep Zamzam Noor.
Berpijak pada realitas dalam pikiran, puisi Indra Tjahyadi mengembara menuju realitas-realitas lain yang hanya bisa dibayangkan tetapi susah ditemui dalam realitas konkret. Hasilnya adalah realitas fantasi. Beruntung Indra memiliki kepekaan universalis sehingga keliarannya masih tetap bisa dibayangkan pembaca. Terlebih, Indra kerap kali memainkan ritme pikiran sehingga tercipta dinamisasi alur. Kelebihan Indra yang lain, dia gemar bermain teknik puisi. Dalam sebuah antologi, Indra memamerkan teknik kreol Surabaya. Dia mencampurkan aspek lisan masyarakat kelas bawah di Surabaya dengan dicampur aspek lisan Pecinan.
A Muttaqien datang tiba-tiba dengan tanpa banyak cakap. Puisinya biasa menyerobot satu halaman penuh salah satu media massa nasional. Tidak seperti Indra yang sangat produktif, Muttaqien tergolong penyair yang rendah produksi. Walau begitu, karyanya jarang ditolak media.
Kelebihan puisi Muttaqien terletak pada ketekunannya dalam menjaga metafor. Dia meletakkan metafor secara dingin. Tidak ada ledakan pada puisinya. Justru sebaliknya, puisi terlihat rapi dan beku. Dia bisa telaten memasangkan bunyi-bunyian di akhir baris. Namun ketika rangkaian kata yang liris itu dimasuki, pembaca justru tidak menemukan makna tersurat. Pembaca hanya akan mendapatkan asosiasi, kesadaran metaforis, dan selebihnya kegelapan.
Puisi F Aziz Manna lain lagi. Ketika penyair-penyair Indonesia sedang mabuk liris, Aziz memilih jalur yang lain. Ialah jalur beringas. Bila pada puisi liris, kata-kata sangat terkesan dikontrol ketat, pada puisi Aziz, kata-kata dibiarkan berlarian. Kadang berlompatan, kadang bertubrukan, kadang saling melemahkan. Kata-kata menyembur membentuk medan puitik yang kompleks.
Pilihan puitik Aziz memang terdukung oleh tema yang diusung, yaitu kota, lebih spesifik Kota Surabaya. Penulis membayangkan puisi Aziz seramai pasar Minggu pagi di sepanjang jalan Pahlawan Surabaya. Orang berteriak-teriak berusaha membetot perhatian pembeli, orang lalu lalang berdesakan, kemacetan jalan raya, dan selebihnya transaksi cepat khas perkotaan. Seperti itulah, puisi Aziz memang tampak mengadopsi gaya hidup kota Surabaya yang pengap dan sesak. Sebuah pola estetik transparan seperti orang Surabaya yang berwatak terbuka, kadang murah pisuhan.
Adapun M Fauzi, inilah penyair terkini dari tradisi Madura yang telah melahirkan puluhan penyair berkualitas. Istimewanya, Fauzi secara santai mewarisi tradisi penulisan para pendahulunya sekaligus membaurkan dengan pola estetik lain yang jarang masih jarang tersentuh. Semisal, puisi Fauzi secara tanpa beban memasukkan pemikiran tokoh filsafat semacam Derrida. Tidak hanya pemikiran, istilah-istilah filsafat pun bersliweran pada puisi Fauzi. Meski begitu, Fauzi tetap berpegang pada nilai-nilai agama. Maka, istilah-istilah Arab yang mungkin berasal dari Al Quran turut menggerakkan teks puisi Fauzi.