Hasilnya sangat mendebarkan. Puisi Fauzi seperti mengajak pembacanya mengarungi luas pengetahuan. Pembaca tertantang untuk mencari rujukan dari metafor. Kadang mengarah pada pemikiran filsafat, kada ng agama, kadang benda-benda yang biasa berada di supermarket. Pilihan teknik ini mendekatkan puisi Fauzi kepada puisi Afrizal. Namun, Fauzi memiliki kerterbedaan yang tidak pernah digarap Afrizal, yakni dunia pesantren yang akrab dengan kitab kuning. Terlebih, transendensi masih merupakan motor utama penggerak teks puisi Fauzi. Sedangkan pada puisi Afrizal, motor penggerak teksnya sering berasal dari masalah sosial dan filsafat antroposentrisme berbelah.
Tentang Penyair Perempuan
Tidak banyak penyair perempuan di Jawa Timur. Bahkan ada anggapan, kalaulah ada penyair perempuan, pencapaian estetikanya masih kalah jauh dengan deretan penyair lelaki semacam Mardi Luhung, Indra Tjahyadi, Mashuri, S Yoga, maupun Tjahjono kembar.
Meski begitu, bukan berarti semua penyair perempuan Jawa Timur buruk atau setengah baik. Saya melihat, ada satu penyair perempuan yang pencapaian estetiknya mampu bersaing dengan para penyair lelaki. Bahkan, mutu puisinya bisa disejajarkan dengan karya para penyair nasional. Dia adalah Sirikit Syah.
Sayangnya, proses kreatif penyair yang pernah diundang dalam Mimbar Penyair Abad 21 ini tidak lagi seintens dua puluh tahun silam. Sirikit memang masih kerap mendatangi atau bahkan menciptakan momen kesenian, tapi soal proses kreatif penciptaan puisi, bisa dibilang dia "pensiun dini".
Sembari berdoa agar Sirikit memulai lagi "militanitas" proses kreatifnya, sebenarnya ada satu penyair lagi perempuan yang layak diperhitungkan. Dia bernama Deny Tri Aryanti. Satu-satunya penyair perempuan dari Jawa Timur yang mampu menembus (mendiang) Jurnal Kalam. Tak hanya itu, hampir semua media massa nasional (asal menyebut saja: Bentara-Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Republika) pernah dsinggahi puisi Deny.
Puitika sajian penyair kelahiran Trenggalek 7 April 1980 ini memperlihatkan kecenderungan luar biasa matang. Penguasaan terhadap tubuh sebagai acuan struktur puitik sangat bagus. Lihat puisi berikut: wajahmu mewarnai batu karang yang kering, sedangkan aku masih terus berjalan di atas rambutmu yang memutih, menggulung pori-pori, untuk kujadikan aliran darah dari mulutku.
Tubuh mengalami tiga tataran kenyataan dalam puisi “Malaikat Putih” tersebut. Pertama, tubuh sebagai daging yang bisa diraba, dan merasakan sakit bila dicubit. Kedua, tubuh sebagai simbol untuk membahasakan pikiran. Ketiga, tubuh sebagai persepsi atas kenyataan. Tiga eksplorasi tubuh serentak hadir membentuk identitas teks.
Kelengkapan puisi Deny dalam mengolah tubuh membuat saya seakan dibawa berkeliling dalam aneka macam pariwisata tubuh. Berbagai konteks diciptakan hingga penafsiran atau pengalaman tentang tubuh mudah diikuti. Pengetahuan terbuka dari tubuh. Lompatan-lompatan pikiran pun dapat dipahami secara ketubuhan. Hasilnya, teks puisi dengan struktur ketubuhan.
Mengapa Deny begitu pandai mengolah kata yang memiliki struktur ketubuhan. Bisa jadi, ini terkait dengan dunia kesenian yang dia geluti sehari-hari.