Alasannya, perempuan nantinya akan menikah dan akan masuk jadi marga lain. Sebagai gantinya, perempuan fokus menganyam.
Suku Kamoro sangat menjaga kekhasan ukirannya dan menjamin hak cipta hanya ada pada orang yang mengukir. Setiap produk yang dibuat tidak akan sama satu dengan yang lainnya.
Motif Kamoro juga berbeda dengan motif suku di Papua lainnya, seperti Nabire, Jayapura, dan lainnya.
Sehingga, akan ketahuan keaslian ukiran khas Kamoro. Suku lain tidak akan bisa mengklaim karena bertentangan dengan adat.
Hengky misalnya, marganya di Kamoro punya hak cipta ukiran buaya. Maka keturunannya mengukir motif buaya saja.
Tidak bisa mengambil motif ikan karena ada yang mengerjakannya. Hak cipta seperti ini sudah ada dari dulu.
Melestarikan Tradisi Ukiran
Namun, melestarikan tradisi khas suatu suku menghadapi tantangan. Itu juga dialami Kamoro.
Supaya ukiran khas yang dipelajari otodidak ini tetap terjaga, Hengky langsung mengambil ukiran dari masyarakat.
"Kami bawa dari kampung ke kampung, singgah dari kampung sebelah ke kampung sebelah. Ambil ukiran, lalu dibawa ke galeri. Lalu kami bawa keluar Papua untuk menjual hasil karya masyarakat," tuturnya.
Ukiran kayu Kamoro yang masih di kampung masih kental dan masih ikut tradisi. Cuma, buat yang tinggal di Timika memudar.
"Kami yang tinggal di kota Timika ini, ada banyak sekitar 80% sudah ada yang lupa dengan tradisi. Kebanyakan masuk ke reggae, hiphop. Akhirnya tradisi sebagai anak Papua, khususnya Kamoro jadi terganggu," tukas Hengky.