Ukiran kayu, anyaman, dan tarian adalah kekayaan karya seni yang dimiliki Kamoro, salah satu dari 255 suku di Papua. Suku ini tinggal di pesisir selatan, Timika, Papua. Keahlian yang dimiliki Suku Kamoro mencerminkan kearifan lokal. Semuanya didapatkan secara turun menurun.
Bukan Sekadar Mengukir dan Menganyam
Menurut seniman ukir kayu Kamoro Hendrikus Wiriyu, dalam satu ukiran kayu, setiap alurnya penuh arti.
Maknanya diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kamoro, seperti kali, awan putih, ada awan hitam, kolam, mata kail, sagu, ikan. Semua dituangkan dalam ukiran. Setiap patung menggambarkan kehidupan Suku Kamoro.
"Bentuk ukiran itu ada berbagai macam," kata Hendrikus yang biasa disapa Hengky, dalam Dialog Seni #Kamoro Art Expo & Sale, bertema Pemuda dalam Gerakan Pelestarian Budaya pada Kamis 28 Oktober 2021.
Dialog seni menghadirkan juga Billy Iwan E Tokuro (Founder Pace Kreatif), Marthen Sattu Sambo (Educational Team Leader Yayasan Wahana Visi Indonesia), Hanna Keraf (Co-Founder dan Chief of Community Development & Partnership Du Anyam), dengan moderator Ludia Amaye Maryen.
Hengky menjelaskan beberapa bentuk ukiran Kamoro, yakni Yamate (seperti papan perisai), pekoro (piring makan kayu), mamokoro, wemawe (kayu utuh dibentuk seperti manusia berdiri).
Pada ukiran buaya yang ditampilkan misalnya, ada garis zig-zag sebagai gambaran kali atau sungai. Untuk ukiran kayu yang dipamerkan tidak memerlukan ritual adat.
Kekhususan hanya pada patung mbitoro yang dianggap paling sakral, sehingga melalui ritual mulai dari proses ambil, masuk kampung, sampai penancapan.
Dalam suku Kamoro, yang berhak mengukir adalah garis keturunan atau maramowe. Jika tidak punya garis keturunan tidak punya hak untuk mengukir. Setiap ukiran punya hak-hak, punya marga-marga tertentu.
Keahlian ini hanya diturunkan kepada anak laki-laki secara generasi ke generasi. Perempuan tidak boleh.