Namun, unsur kuat tradisi dan budaya Minang dengan menghadirkan berkali-kali pertemuan musyawaram,h  di rumah gadang, kuatnya ninik mamak sebagai pemimpin adat Minangkabau mampu dimunculkan. Begitupun tadisi matrilineal garis ibu yang mampu dihadirkan.
Budaya mempersulit dari aparat sipil negara pun tak sungkan dihadirkan sebagai kritik. Salah satu yang agak mengganggu adalah tulisan pengingat keberadaan Liam di Bukittingi.
Tertulis dalam hitungan mundur dalam beberapa adegan adalah 29 hari menjelang deportasi  dan selanjutnya. Adakah kata yang lebih tepat selain deportasi? Sebab, kata deportasi dalam KBBI lebih bermakna pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal disitu.
Sementara, makna deportasi dalam film yang tertangkap adalah semakin menipisnya hari berakhirnya masa berlaku visa. Mulai dari 29 hari hingga satu hari batas waktu.
Namun film Liam dan Laila menarik untuk ditonton karena memunculkan adat dan budaya Minang, salah satu suku yang besar di Indonesia. Mengetahui tradisi yang ada di negeri yang kaya adat, budaya, suku, dan agama merupakan sebuah pengalaman yang berhrga. Â Â
Semoga saja banyak film berlatar budaya lain yang diangkat ke layar lebar. Bicara tentang Minang sendiri, juga banyak yang bisa diulas, antara lain mengenai tradisi merantau atau populernya rumah makan padang di setiap daerah di Indonesia. Ah, saya jadi lapar, ingin makan Nasi Padang dulu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H