Stigma terhadap orang dengan masalah kejiwaan di masyarakat hingga kini masih negatif. Â Ciri dan label, serta diskriminasi tak mengenakkan tetap dibebankan kepada mereka kendati telah dinyatakan sembuh dari gangguan kejiwaan.Â
Dr. dr Agus Hadian Rahim (Sekretaris Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan) dalam peringatan HUT ke-150 RSJSH mengatakan, keluarga dan lingkungan berperan dalam penyembuhan orang yang memiliki gangguan kejiwaan.Â
Apalagi, saat ini penyakit jiwa termasuk dalam sepuluh prioritas masalah penyakit, Â yang dulunya ada di urutan ke-10 sekarang naik ke peringkat ke-6.
Dr. Safyuni Niswati, SpKJ, dari tim Keswamas RSJSH Â yang menangani pembebasan pasung mengungkapkan, masih banyak terdapat kasus pemasungan yang dilakukan keluarga terhadap anggota keluarganya sendiri.
Orang  yang dianggap ‘gila’ atau terkena gangguan jiwa umumnya kaki, tangan, atau leher dirantai pada sebuah rangka kayu. Hal ini dilakukan masyarakat agar orang dengan gangguan jiwa itu tidak membuat kehebohan atau kegaduhan yang meresahkan dan mencelakakan masyarakat. Salah satu contohnya adalah berita ini.
Padahal, pemasungan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Â Akibat pemasungan yang terlalu lama, bahkan ada orang dengan gangguan jiwa sampai lupa cara makan sebagaimana layaknya manusia.Â
Padahal, keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa dapat  menyampaikannya ke layanan kesehatan terdekat,seperti puskesmas. Laporan vertikal yang sampai ke RSJSH, akan ditindaklanjuti dengan penjemputan pembebasan pemasungan. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pasung.Â
Selain itu, keluarga  juga dapat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan untuk membawa anggota keluarganya yang memiliki masalah kesehatan jiwa untuk rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit jiwa. Caranya, cukup dengan membawa rujukan Puskesmas, rujukan Poli Jiwa RSUD/RS Swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sesuai indikasi medis, atau pengantar BPJS setempat.