Kicir kicir ini lagunya
Lagu lama ya tuan dari Jakarta
Saya menyanyi ya tuan memang sengaja
Untuk menghibur menghibur hati nan duka
Lantang dan jelas mengikuti iringan alat musik organ tunggal, lagu daerah asal Jakarta itu dinyanyikan bersama-sama dengan kompak oleh sejumlah lelaki dan perempuan. Beberapa di antaranya sambil berdiri, memegang kertas yang bertuliskan lirik. Beberapa lainnya duduk di kursi.
“Ulangi lagi,” ujar salah seorang perempuan pemberi aba-aba. Lagu Kicir-Kicir pun kembali dinyanyikan. Tepuk tangan langsung memenuhi ruangan. Wajah-wajah gembira terlihat dari para penyanyi. “Terima kasih. Terima kasih,” ucap mereka.
Sebuah lagu yang dinyanyikan bukanlah karena sedang ada pentas seni ataupun adanya suatu peringatan tertentu. Itulah kegiatan harian dalam bentuk terapi musik yang dilakukan para klien atau pasien Daycare, Rehabilitasi Medik Psikiatri, Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerjan (RSJSH), Grogol, Jakarta Barat.
“Mereka yang mengikuti daycare ini sudah dinyatakan stabil, tenang, kooperatif, dan rutin minum obat,” kata Susi, petugas bagian rehabilitasi RSJSH yang mendampingi kami, para blogger yang diajak berkeliling instalasi rehabilitasi, berkaitan dengan peringatan hari ulang tahun ke-150 tahun RSJSH, Selasa 25 April lalu.
Para peserta Daycare ini merupakan pasien rawat jalan yang tengah dipersiapkan kembali ke masyarakat . Bukan bagian dari pasien rawat inap di rumah sakit jiwa tersebut.
Menurut dr Savitri dari bagian instalasi rehab medik, mereka yang mengikuti aktivitas daycare telah mengikuti proses seleksi sebanyak 5 kali kunjungan untuk menentukan kelayakan. Sebelum akhirnya kemudian menjalani rehabilitasi psikososial sebanyak 20 kali kunjungan, dan pelatihan kerja terampil mandiri sebanyak 60 kali kunjungan.
Kembali ke keluarga/masyarakat sebagai manusia yang memiliki keterampilan dan mampu mandiri. Itulah yang diupayakan agar orang yang memiliki riwayat masalah gangguan kejiwaan dapat hidup normal seperti sebelumnya.
Diharapkan mereka dapat bekerja kembali di pekerjaan lamanya, tapi kalaupun sudah tidak bisa, mereka sudah dipersiapkan dengan sejumlah kemampuan wirausaha.
Mampu hidup di tengah masyarakat dan bisa kembali bekerja secara mandiri itu penting. Kenapa? Maklum saja, karena para pasien daycare RSJSH seluruhnya berada dalam usia produktif, yakni antara 18-50 tahun. Kebanyakan berjenis kelamin laki-laki.
“Banyak yang melatarbelakangi gangguan kejiwaan. Di daycare tata boga ini, mereka belajar membuat beragam kue, yang nantinya dapat dijual,” kata Rino, pengajar di terapi boga.
Di ruangan tata boga instalasi rehab medik RSJSH, jajaran meja-meja dengan berbagai peralatan memasak terlihat di dapur. Alat pemanggang kue oven terlihat. Termasuk etalase kaca untuk meletakkan roti atau kue yang telah matang dibuat. Sedikitnya sekitar 30 roti dapat terjual setiap hari di bagian rawat jalan.
“Pak, pak. Rotinya sudah habis,” ujar salah seorang peserta daycare, yang menggunakan baju ala koki dengan senang.
Mencicipi hasil masakan peserta daycare dan melihat hasil keterampilan tangan mereka, saya berdecak kagum. Keterampilan jahit misalnya, terlihat sangat apik. Dompet, tas tangan, pot bunga, hingga anyaman yang dipajang tampak rapih disusun di lemari kaca.
Aneka lukisan warna-warni yang indah tampak terpajang memenuhi sisi kiri dan sisi kanan dinding di ruang rehab medik. Seluruh ruangan tampak bersih dan rapi tertata di RSJSH.
Stigma terhadap orang dengan masalah kejiwaan di masyarakat hingga kini masih negatif. Ciri dan label, serta diskriminasi tak mengenakkan tetap dibebankan kepada mereka kendati telah dinyatakan sembuh dari gangguan kejiwaan.
Dr. dr Agus Hadian Rahim (Sekretaris Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan) dalam peringatan HUT ke-150 RSJSH mengatakan, keluarga dan lingkungan berperan dalam penyembuhan orang yang memiliki gangguan kejiwaan.
Apalagi, saat ini penyakit jiwa termasuk dalam sepuluh prioritas masalah penyakit, yang dulunya ada di urutan ke-10 sekarang naik ke peringkat ke-6.
Dr. Safyuni Niswati, SpKJ, dari tim Keswamas RSJSH yang menangani pembebasan pasung mengungkapkan, masih banyak terdapat kasus pemasungan yang dilakukan keluarga terhadap anggota keluarganya sendiri.
Orang yang dianggap ‘gila’ atau terkena gangguan jiwa umumnya kaki, tangan, atau leher dirantai pada sebuah rangka kayu. Hal ini dilakukan masyarakat agar orang dengan gangguan jiwa itu tidak membuat kehebohan atau kegaduhan yang meresahkan dan mencelakakan masyarakat. Salah satu contohnya adalah berita ini.
Padahal, pemasungan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Akibat pemasungan yang terlalu lama, bahkan ada orang dengan gangguan jiwa sampai lupa cara makan sebagaimana layaknya manusia.
Padahal, keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa dapat menyampaikannya ke layanan kesehatan terdekat,seperti puskesmas. Laporan vertikal yang sampai ke RSJSH, akan ditindaklanjuti dengan penjemputan pembebasan pemasungan. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pasung.
Selain itu, keluarga juga dapat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan untuk membawa anggota keluarganya yang memiliki masalah kesehatan jiwa untuk rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit jiwa. Caranya, cukup dengan membawa rujukan Puskesmas, rujukan Poli Jiwa RSUD/RS Swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sesuai indikasi medis, atau pengantar BPJS setempat.
Dalam kesempatan yang sama, dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ, psikiater RSJSH yang juga merupakan Ketua Umum PDSKJI DKI Jakarta mengatakan, berbagai upayadilakukan untuk menyebarluaskan infomasi bagi masyarakat mengenai kesehatan jiwa, pencegahan, dan penanganan gangguan jiwa di masyarakat dan fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa.
Nova menyoroti penerapan dan turunan dari UU No.18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Masih dibutuhkannya pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) sehingga tidak membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan/atau materi yang mengarah pada stigmasasi dan diskriminasi.
Nova Riyanti, yang juga pernah menjadi Ketua Panja RUU Kesehatan Jiwa Komisi IX DPR RI (2012-2014) menyebutkan, saat ini kasus gangguan jiwa di DKI Jakarta meningkat, yakni sebanyak 14,1 cemas dan depresi 763.000 orang (peringkat kedua nasional) dan 2.03 % psikotik (peringkat petama nasional).
Untuk prevalensi gangguan mental emosional > 15 tahun berdasarkan Riskesdas 2007, yang tertinggi adalah Jawa barat (20 %), Gorontalo (16,5%), Sulawesi Tengah (16%).
Kesehatan mental masyarakat perkotaan semakin menjadi perhatian karena bermunculannya fenomena viral yang berbahaya melalui internet, seperti tantangan berbahaya yang dipamerkan di media sosial hingga status bunuh diri. Contohnya eraser challenge, skip/knock out, Cinnamon Challenge, dan Sack tapping.
Masalah kejiwaan juga dapat timbul dari kecanduan internet. Suatu hal yang penting karena pengguna internet di Indonesia cukup tinggi mencapai 88,1 juta, pada semester pertama tahun 2015. APJI mencatat ada di lima pula besar, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Dr Suzy Yusna Dewi, SpKJ (K), psikiater anak dan remaja mengatakan seseorang dinyatakan kecanduan internet bila menghabiskan waktu secara berlebihan untuk online (>40 jam/bulan). Bila mengurangi pengaksesan internet, timbul rasa cemas, iritabel, dan depresi.
Adiksi internet yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada pekerjaan, pendidikan, keluarga, atau interaksi sosial. Pada anak remaja yang bersekolah berpengaruh pada menurunnya prestasi akademis, sedangkan yang bekerja berpengaruh saat bekerja,
Yusna menyampaikan, terdapat lima kategori adiksi internet, yakni Cybersexual addiction (melakukan penelusuran dalam situ-situs porno atau cybersex secara kompulsif), cyber-relationship addiction (hanyut dalam pertemanan melalui dunia cyber), net compulsion (terobsesi pada situs-situs perdagangan cyber shopping/day trading atau perjudian/cyber casino, information overloaded (penelusuran situs informasi secara kompulsif), computer addiction (terobsesi permainan online sperti Doom, Myst, Counter Strike, Ragnarok).
Direktur utama RSJSH dr Aris Tambing, MARS menyadari pandangan negatif masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa. Sebuah rumah sakit jiwa masih dianggap sebagai suatu hal yang menakutkan di masyarakat.
Sebut saja bila menyebut rumah sakit Grogol, orang pasti akan langsung menyambungkannya dengan rumah sakit untuk orang sakit jiwa. Karenanya, dilakukab sejumlah upaya agar rumah sakit jiwa lebih bersahabat dengan masyarakat
Untuk menghilangkan stigma masyarakat, rumah sakit jiwa ini berubah-ubah nama. pada tahun 1973 Rumah Sakit Jiwa Grogol berubah menjadi Rumah Sakit Jiwa Jakarta. Tahun 1993 berubah kembali menjadi Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta. Terakhir tahun 2002 menjadi Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerjan (RSJSH) sampai sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H