Hingga suatu sore Iman yang melihatnya tiba-tiba menegur. “Kamu kalau duduk jangan seperti itu. Tidak sopan. Apalagi di antara teman-teman laki-laki. Bagian belakang celana panjangmu terlalu bawah dan sebagian bokongmu terlihat oleh siapa pun.”
Andini memandang Iman. Sedikit terusik karena lelaki itu tidak perlu mengingatkannya seperti itu karena dia bukan apa-apanya.
“Kamu tidak perlu berkata seperti itu,” tukas Andini.
“Jangan marah. Aku hanya mengingatkanmu,” ucap Iman.
Andini sendiri tidak pernah mengerti karena Iman selalu saja tampak berusaha menasihati semua tingkahnya, yang dianggap tidak pantas. Namun, lambat laun itu juga yang perlahan membuat kedekatan keduanya.
“Ya sudah, ajarkan saja aku mengaji kalau begitu,” ujar Andini kesal, saat Iman lagi-lagi menegurnya.
Iman memandang Andini tidak percaya. “Sungguh?”
Andini merasa terperangah. Sungguh, sebenarnya dia hanya berkata asal. Iman menganggapnya serius ingin belajar mengaji. Padahal itu hanya ucapan kesalnya saja. Tidak bermaksud lain agar Iman cepat berlalu.
Esoknya, Iman benar-benar serius. Usai jam kantor, Iman sudah menunggunya di depan ruangan kerja Andini.
“Katanya mau belajar mengaji?” tegur Iman.
“Pakai apa? Aku nggak bawa apa-apa.”