KOTA tua Jakarta. Entah mengapa rasa pedih sekaligus bahagia, selalu hadir saat menginjakkan kaki di kawasan itu. Gedung-gedung tua yang berdiri mempesona, jajaran-jajaran sepeda yang disewakan, ratusan pedagang kaki lima yang menggelar barang-barang yang dijualnya, sehingga sesak memenuhi pelataran jalan yang seharusnya dilalui pejalan kaki.
Andini menghela napas.Tidak banyak yang berubah dengan kawasan kota tua ini. Tetap memikat, bahkan semakin cantik dengan beberapa gedung yang sudah direnovasi atau dicat ulang. Memanggil-manggil ingatan masa lalu yang ingin sekali dilupakannya, yang juga sekaligus selalu ingin disimpannya. Kenangan yang selalu dirindukannya.
Andini mengedarkan pandangan. Semakin malam, semakin bertambah saja jumlah orang yang datang. Berjalan di antara banyak orang begini, di antara penjual kaki lima yang berbaris, mau tidak mau harus berhati-hati agar tidak tersaruk atau bahkan tersungkur.
Namun, barang-barang yang tergelar di trotoar jugalah yang menahan langkah para pejalan kaki untuk melihat-lihat sejenak. Sekedar menawar ataupun kemudian akhirnya membeli sesuatu. Semua dagangan yang unik-unik nyaris tersedia. Aneka aksesoris, kaos dan celana, ramal meramal nasib, pembuatan tato, dan berbagai jajanan.
Sudut mata Andini menangkap seorang penjual kerak telor di antara keramaian. Hanya berjarak beberapa pedagang dari situ, ada seorang penjual Selendang Mayang. Ah,benarkah? Sepi tanpa pembeli. Bapak penjualnya sedang terbengong-bengong menyaksikan ramainya orang yang lalu lalang, tanpa satu pun yang datang membeli padanya.
“Ayo mbak, cepetan. Nanti pulangnya jadi tambah malam,” sergah Nisa, teman barengnya, menarik tangannya untuk berjalan lebih cepat.
Sambil melangkahkan kaki, pandang mata Andini masih sempat melihat bapak tua penjual Selendang Mayang, yang tengah duduk di antara dagangan pikulannya. Seandainya ada waktu lebih, ingin rasanya memesan semangkuk selendang mayang. Merasakan manis dan segar yang perlahan mengalir saat diminum.
***
“ENAK?” tanya lelaki yang biasa dipanggilnya abang itu. Andini tersenyum dan mengangguk. Sungguh, baru sekali ini saja dia merasakan es Selendang Mayang. Dinginnya air es, yang berpadu dengan manisnya saus gula aren dan gurihnya kuah santan, menyegarkan kerongkongan yang tengah haus sore itu. Sesuap demi sesuap dimakannya potongan selendang mayang berwana merah muda, hijau, dan putih.
“Aku baru sekali minum yang seperti ini,” kata Andini menatap Iman.
Lelaki itu tertawa. “Hei, berapa lama kamu tinggal di Jakarta? Bukannya sejak kecil?”
Sore itu, setelah ada keperluan kantor yang ada di sekitar Jl Pinangsia, yang tidak jauh dari kawasan kota tua, Iman mengajaknya mampir dulu sejenak. Menyaksikan perubahan sore Jakarta di antara gedung –gedung tua yang berjajar. Mulai dari museum Fatahilah, museum wayang, dan kantor pos.
Disitulah, ada seorang pedagang pikulan es selendang mayang. Iman langsung memesan dua mangkuk. Satu untuk dirinya dan satu untuk Andini. Sungguh baru sekali itulah, Andini mengetahui rasa minuman itu.
Andini merasa malu sendiri. Besar di Jakarta, tidak pernah minum Selendang Mayang. Selama ini, hanya es cendol, es campur, es teller yang diketahuinya. Sesekali tentu saja membeli es dawet ataupun es doger.
“Ini selendang mayang. Minuman tradisional asal Jakarta. Dibuat dari tepung beras, dicampur dengan gula aren dan santan. Nggak kalah enak dengan minuman lain kan? “ jelas Iman.
Andini mengiyakan. Meski pernah mendengar nama minuman itu, baru sekarang dia memegang semangkuk berisi es selendang mayang. Sekaligus mencicipinya.
“Kamu tinggal di komplek perumahan. Minuman ini tidak pernah ada disana. Sekarang pun sebenarnya sudah jarang ada. Kecuali kalau acara tertentu seperti Lebaran Betawi,” tutur Iman.
Andini menyuapkan potongan selendang mayang warna merah muda terakhir ke mulutnya. Matanya menatap Iman, yang kemudian juga tersenyum melihatnya.
“Sudah habis? Suka? Wah, sepertinya kamu harus tahu banyak minuman dan makanan Betawi. Kamu harus coba Bir Pletok juga,” kata Iman tertawa.
***
Namun, sebenarnya keduanya berbeda. Iman lebih religius sedangkan Andini jauh lebih terlihat gaya masa kini. Selepas kerja, Andini yang bergaya cuek dan tomboy, biasanya bergabung dengan beberapa teman lelaki yang lain untuk bernyanyi dan bergitar bersama. Tertawa-tawa lepas.
Hingga suatu sore Iman yang melihatnya tiba-tiba menegur. “Kamu kalau duduk jangan seperti itu. Tidak sopan. Apalagi di antara teman-teman laki-laki. Bagian belakang celana panjangmu terlalu bawah dan sebagian bokongmu terlihat oleh siapa pun.”
Andini memandang Iman. Sedikit terusik karena lelaki itu tidak perlu mengingatkannya seperti itu karena dia bukan apa-apanya.
“Kamu tidak perlu berkata seperti itu,” tukas Andini.
“Jangan marah. Aku hanya mengingatkanmu,” ucap Iman.
Andini sendiri tidak pernah mengerti karena Iman selalu saja tampak berusaha menasihati semua tingkahnya, yang dianggap tidak pantas. Namun, lambat laun itu juga yang perlahan membuat kedekatan keduanya.
“Ya sudah, ajarkan saja aku mengaji kalau begitu,” ujar Andini kesal, saat Iman lagi-lagi menegurnya.
Iman memandang Andini tidak percaya. “Sungguh?”
Andini merasa terperangah. Sungguh, sebenarnya dia hanya berkata asal. Iman menganggapnya serius ingin belajar mengaji. Padahal itu hanya ucapan kesalnya saja. Tidak bermaksud lain agar Iman cepat berlalu.
Esoknya, Iman benar-benar serius. Usai jam kantor, Iman sudah menunggunya di depan ruangan kerja Andini.
“Katanya mau belajar mengaji?” tegur Iman.
“Pakai apa? Aku nggak bawa apa-apa.”
“Aku bawa. Sudah aku siapkan.”
Iman memperlihatkan buku iqro di tangannya.
“Kita mulai dari awal saja, biar lebih mudah.”
“Aku mau capek. Aku mau pulang. Istirahat.”
“Sebentar saja Andini. Disini saja!”
Entah mengapa, tatapan mata Iman yang bersikukuh, membuat Andini pun akhirnya menyerah. Tiba-tiba tidak ada alasan yang bisa diajukannya untuk menghindar pergi. Tangannya meraih buku iqro dari tangan Iman dan kemudian duduk. Perlahan buku itu dibukanya lembar demi lembar.
Duduk berhadapan. Andini pun mulai belajar mengaji satu persatu dari huruf Alif, Ba, Ta, dan Tsa.
“Nggak perlu malu. Kamu bisa. Setiap orang bisa belajar mengaji kapan pun. Pada usia berapa pun.” Kata Iman.
Andini hanya mengangguk.
***
FOTO masa kuliah berada di tangan Iman. Sejumlah mahasiswa baru ada di gambar itu. Di depannya, ada beberapa kakak angkatan yang lebih senior, sebagai panitia. Salah satunya Iman.
“Kok kamu nggak seperti teman-temanmu saat kuliah dulu?” tanya Iman.
“Maksud abang?” balas Andini.
“Teman-teman perempuanmu kan banyak yang mendekatiku. Sering iseng memanggil-manggil. Tapi kamu nggak. Kamu cuek dan nggak peduli. Nggak ikut-ikutan seperti mereka.” Iman tertawa.
Andini tak menampik jika Iman memang cukup populer di kalangan adik angkatannya. Wajahnya yang cukup lumayan dan tubuh Iman yang tinggi besar adalah daya tarik tersendiri bagi para perempuan muda, awal perkuliahan. Kakak angkatan yang menjadi idola bagi adik angkatan.
Banyak teman-temannya yang berusaha dekat dengan Iman. Banyak yang menyatakan suka pada Iman. Namun Andini tidak ambil pusing. Tidak peduli dengan keriuhan teman-temannya
Saat ini, dari semua teman-temannya yang dulu mengaku suka pada Iman, justru Andinilah yang berada dalam posisi paling dekat karena bekerja di satu kantor. Tidak jarang, satu atau dua teman kuliahnya dulu menitip salam untuk Iman.
Andini tersenyum. Hari demi hari belajar mengaji pada Iman, semakin lama terasa menyenangkan. Entah mengapa, secara perlahan mulai muncul perasaan tak menentu. Andini mulai merasa Iman semakin berwajah menarik. Terlebih saat mengajarnya mengaji. Andini mulai merasa tak terusik saat Iman mengingatkannya untuk selalu menjalankan ibadah shalat lima waktu.
“Hei, aku bawakan kamu dodol betawi.” Iman mengusik lamunan Andini.
“Bang Iman, asli banget Betawi?”
“Iya, seribu persen. Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Kata orang, Betawi itu...”
Iman tertawa.
“Banyak yang malas? Hanya mengandalkan tanah warisan? Nggak berbudaya, seperti lagunya Si Doel Anak Sekolahan?” sergah Iman jenaka.
Andini tersipu.
“Banyak juga orang Betawi yang hebat, kok ! Ali Sadikin saja bisa jadi gubernur.”
Andini pun tersenyum. Iman berbeda. Kagum. Ah, Andini tiba-tiba merasa malu. Seharusnya menilai seseorang bukan dari latar yang tidak tepat. Setiap orang yang berpendidikan tinggi dan berpikiran maju, pastilah memiliki pemikiran yang baik. Iman adalah lelaki baik yang mengajaknya lebih tahu mengenai berbagai hal. Mengajarnya mengaji, mengingatkannya untuk beribadah, hingga memperkenalkan pada kuliner tradional Betawi.
Hati Andini mulai berbunga-bunga. Dibukanya gulungan dodol Betawi dari Iman. Rasa manis menguasai mulutnya saat dodol itu dikunyah perlahan.
***
ANDINI terpaku memandang lurus tanaman bunga. Iman berada di hadapannya. Lelaki itu baru saja menyampaikan sesuatu yang membuatnya kaget setengah mati. Hatinya tiba-tiba merasa tidak menentu. Iman akan menikah !
“Secepat itu? Abang nggak pernah cerita hubungan spesial tentang dia.” Sergah Andini.
Bagaimana mungkin, Iman tiba-tiba akan menikahi perempuan yang baru dikenalnya selama kurang dari tiga bulan?
Iman tersenyum.
“Abang sudah cukup usia, Andini. Melihatnya, abang tidak tahu kenapa bisa langsung yakin sebagai pasangan hidup.”
Entah kenapa Andini tiba-tiba merasa ada yang hilang.
“Nanti aku nggak bisa dekat dengan abang lagi kalau menikah.”ujar Andini lirih.
Iman menatap Andini.
“Bisa, Andini. Tetap bisa. Kenapa kamu tidak menganggap temanmu akan bertambah seorang lagi? Anggaplah ada lagi seorang kakak perempuan yang menyayangimu.”
Andini terperangah.
Kakak? Bertambah teman? Maksudnya? Jadi selama ini Iman hanya menganggapnya sebagai adik. Adik kelasnya, adik yunior di tempat kerjanya. Adik saja? Kedekatan selama ini?
“Kamu harus datang, Andini. Harus datang. Kami menunggumu.”
Iman bangkit dari duduk sambil membawa sejumlah kartu undangan pernikahan.
***
HARI beranjak siang saat Andini bersama teman-teman sekantor tiba di pesta pernikahan Iman. Pernikahan yang bernuansa Jawa. Iman menikah dengan perempuan keturunan Sleman, Yogyakarta.
Perempuan yang memang terlihat lebih santun dan lebih dewasa. Andini merasa langkahnya sedikit melayang. Awalnya, enggan hatinya untuk datang. Namun, Andini tahu sangat tidak pantas jika menghindar. Semua teman di kantor tahu jika dirinya dekat dengan Iman.
Kedekatan yang hanya sebatas kakak dan adik. Ah, Andini merasa sangat bodoh. Iman tidak pernah sekalipun berkata suka kepadanya lebih dari seorang adik. Hatinya saja yang gede rasa dan selalu berbunga-bunga saat menerima perhatian Iman. Termasuk saat menerima sejumlah makanan khas Betawi, yang salah satunya adalah dodol Betawi.
“Ah ini dia. Adiknya abang datang. Akhirnya datang juga. Kami sudah menunggu dari tadi.” Suara Iman menyadarkan Andini telah berada tepat di hadapan pengantin untuk bersalaman.
Wajah Iman berseri. Ratri, perempuan pilihan Iman, yang terlihat cantik berada di samping Iman, tersenyum mendekat. Segera kedua perempuan ini berpelukan. Andini merasa tercekat.
“Selamat ,mbak. Semoga bahagia dan langgeng.”
Pasangan pengantin itu tersenyum. “Terima kasih, Andini. Semoga kamu pun segera. Sekarang, makanlah hidangan yang disediakan. Ada yang istimewa untuk kamu. Es selendang mayang. Cocok di siang panas,” ujar Iman tertawa.
Andini pun tersenyum. Semuanya sebenarnya tetap manis, tergantung cara memandangnya, seperti rasa es selendang mayang yang kini ada di hadapannya.
***
No : 29, Riap Windhu
Selengkapnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H