Sore itu, setelah ada keperluan kantor yang ada di sekitar Jl Pinangsia, yang tidak jauh dari kawasan kota tua, Iman mengajaknya mampir dulu sejenak. Menyaksikan perubahan sore Jakarta di antara gedung –gedung tua yang berjajar. Mulai dari museum Fatahilah, museum wayang, dan kantor pos.
Disitulah, ada seorang pedagang pikulan es selendang mayang. Iman langsung memesan dua mangkuk. Satu untuk dirinya dan satu untuk Andini. Sungguh baru sekali itulah, Andini mengetahui rasa minuman itu.
Andini merasa malu sendiri. Besar di Jakarta, tidak pernah minum Selendang Mayang. Selama ini, hanya es cendol, es campur, es teller yang diketahuinya. Sesekali tentu saja membeli es dawet ataupun es doger.
“Ini selendang mayang. Minuman tradisional asal Jakarta. Dibuat dari tepung beras, dicampur dengan gula aren dan santan. Nggak kalah enak dengan minuman lain kan? “ jelas Iman.
Andini mengiyakan. Meski pernah mendengar nama minuman itu, baru sekarang dia memegang semangkuk berisi es selendang mayang. Sekaligus mencicipinya.
“Kamu tinggal di komplek perumahan. Minuman ini tidak pernah ada disana. Sekarang pun sebenarnya sudah jarang ada. Kecuali kalau acara tertentu seperti Lebaran Betawi,” tutur Iman.
Andini menyuapkan potongan selendang mayang warna merah muda terakhir ke mulutnya. Matanya menatap Iman, yang kemudian juga tersenyum melihatnya.
“Sudah habis? Suka? Wah, sepertinya kamu harus tahu banyak minuman dan makanan Betawi. Kamu harus coba Bir Pletok juga,” kata Iman tertawa.
***
Namun, sebenarnya keduanya berbeda. Iman lebih religius sedangkan Andini jauh lebih terlihat gaya masa kini. Selepas kerja, Andini yang bergaya cuek dan tomboy, biasanya bergabung dengan beberapa teman lelaki yang lain untuk bernyanyi dan bergitar bersama. Tertawa-tawa lepas.