Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

(Fiksi Kuliner) Selendang Mayang

7 Juni 2016   02:44 Diperbarui: 7 Juni 2016   11:54 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
event fiksi kuliner (foto:fiksianacommunity)

KOTA tua Jakarta. Entah mengapa rasa pedih sekaligus bahagia, selalu hadir saat menginjakkan kaki di kawasan itu. Gedung-gedung tua yang berdiri mempesona, jajaran-jajaran sepeda yang disewakan, ratusan pedagang kaki lima yang menggelar barang-barang yang dijualnya, sehingga sesak memenuhi pelataran jalan yang seharusnya dilalui pejalan kaki.

Andini menghela napas.Tidak banyak yang berubah dengan kawasan kota tua ini. Tetap memikat, bahkan semakin cantik dengan beberapa gedung yang sudah direnovasi atau dicat ulang. Memanggil-manggil ingatan masa lalu yang ingin sekali dilupakannya, yang juga sekaligus selalu ingin disimpannya.  Kenangan yang selalu dirindukannya.  

Andini mengedarkan pandangan.  Semakin malam, semakin bertambah saja jumlah orang yang datang. Berjalan di antara banyak orang begini, di antara penjual kaki lima yang berbaris, mau tidak mau harus berhati-hati agar tidak tersaruk atau bahkan tersungkur.

Namun, barang-barang yang tergelar di trotoar jugalah yang menahan langkah para pejalan kaki untuk melihat-lihat sejenak. Sekedar menawar ataupun kemudian akhirnya membeli sesuatu. Semua dagangan yang unik-unik nyaris tersedia. Aneka aksesoris, kaos dan celana, ramal meramal nasib, pembuatan tato, dan berbagai jajanan.

Sudut mata Andini menangkap seorang penjual kerak telor di antara keramaian.  Hanya berjarak beberapa pedagang dari situ, ada seorang penjual Selendang Mayang.  Ah,benarkah? Sepi tanpa pembeli. Bapak penjualnya sedang terbengong-bengong menyaksikan ramainya orang yang lalu lalang, tanpa satu pun yang datang membeli padanya.

“Ayo mbak, cepetan. Nanti pulangnya jadi tambah malam,” sergah Nisa, teman barengnya, menarik tangannya untuk berjalan lebih cepat.

Sambil melangkahkan kaki, pandang mata Andini masih sempat melihat bapak tua penjual  Selendang Mayang, yang tengah duduk di antara dagangan pikulannya. Seandainya ada waktu lebih, ingin rasanya memesan semangkuk selendang mayang.  Merasakan manis dan segar yang perlahan mengalir saat diminum.

***

“ENAK?” tanya lelaki yang biasa dipanggilnya abang itu. Andini tersenyum dan mengangguk. Sungguh, baru sekali ini saja dia merasakan es Selendang Mayang. Dinginnya air es, yang berpadu dengan manisnya saus gula aren dan gurihnya kuah santan, menyegarkan kerongkongan yang tengah haus sore itu. Sesuap demi sesuap dimakannya potongan selendang mayang berwana merah muda, hijau, dan putih.

“Aku baru sekali minum yang seperti ini,” kata Andini menatap Iman.

Lelaki itu tertawa. “Hei, berapa lama kamu tinggal di Jakarta? Bukannya sejak kecil?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun