Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Industrialisasi Perkebunan dan Pemerdekaan

11 Mei 2016   20:51 Diperbarui: 11 Mei 2016   20:57 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia merupakan salah satu penghasil karet terbesar di dunia setelah Thailand, kemudian Vietnam dan Malaysia (gambar:karetkemenperin.go.id)

Penulis menyerahkan buku kepada sejumlah peserta diskusi 9foto:riapwindhu)
Penulis menyerahkan buku kepada sejumlah peserta diskusi 9foto:riapwindhu)
Selain itu, industri pengolahan tidak dibangun di wilayah penghasil bahan baku. Seluruh bahan baku langsung diangkut ke Eropa. Contohnya untuk produk kakao, teh, dan kopi. Hanya kelapa sawit dan gula karena bersifat perishable atau mudah busuk, industri pengolahannya dibangun di lndonesia (Hindia Belanda).

Stuktur ekonomi  dibangun terpisah, yakni struktur ekonomi modern dan struktur ekonomi tradisional untuk pribumi. Pada struktur ekonomi modern, perusahaan besar mendapatkan fasilitas kapital, terutama llahan. Perusahaan besar  mendapatkan lahan berstatus HGU, yang sebelumnya sebagai kawasan hutan negara menjadi aset perusahaan, dengan penerbitan Agrarischwet 1870.  

Pola penguasaan lahan perkebunan yang telah berlangsung selama 100 tahun hingga kini,  jelas Agus, tidak akan mendorong perilaku yang mendorong industrialisasi berbasis komoditas perkebunan. Hal ini dilandasi data sejarah yang tidak menunjukkan bukti membangun industri hilir.

Kenapa?  Karena pada saat yang sama, tanah negara dapat dikatakansebagai tanah privat. Tanah negara beralih menjadi kekayaan atau aset korporasi, pada saat berubah menjadi hak guna usaha (HGU). Korporasi mendapatkan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang biayanya hanya 5 % dari NJOP.

Padahal, lanjut Agus,  nilai NJOP lahan yang berada di tengah hutan sangat kecil. Bahkan tidak punya harga karena tidak diperjualbelikan dan pasarnya tidak ada. Dengan satu periode HGU 35 tahun saja, misalnya, baru akan berakhir pada tahun 2048.

Perkebunan Pemerdekaan Indonesia, kumpulan pemikiran Prof. Dr. Ir Agus Pakpahan mengenai kondisi perkebunan dan komoditasnya di Indonesia (foto:riapwindhu)
Perkebunan Pemerdekaan Indonesia, kumpulan pemikiran Prof. Dr. Ir Agus Pakpahan mengenai kondisi perkebunan dan komoditasnya di Indonesia (foto:riapwindhu)
Sebagai ilustrasinya, dalam buku dijelaskan, seandainya harga per hektar hanya Rp. 2 juta, maka nilainya untuk 100.000 ha hanyalah Rp.10 miliar untuk masa pakai 35 tahun atau sekitar Rp. 285,7 juta per tahun.Dengan HGU senilai itu, kekayaan milik perusahaan dapat diciptakan menjadi Rp.5 Triliun per tahun, setelah menjadi aset dengan perkiraan aset Rp.50 juta pertahun. 

Nilai aset jika telah menjadi perkebunan ini  membuat keengganan untuk berepot-repot membangun industri hilir.  Apalagi, hak pakai  bisa diperpanjang. Padahal industrialisasi kunci utama untuk membangkitkan nilai tambah perkebunan.

Senada, Dr. MT Felix Sitorus, Sosiolog Agribisnis menyayangkan nasib Indonesia pada 35 tahun mendatang jika hal ini terus berlangsung. Perusahaan besar perkebunan ada tetapi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan pekebunnya.

Harga Komoditas yang Terus Menurun

Harga komoditas perkebunan cenderung menurun di pasar internasional. Indonesia perlu bersiap-siap untuk mengantipasi realitas perkebunan yang semula gemerlap menjadi gelap. Khususnya, kelapa sawit. Bank Dunia telah meramal jika tahun 2025 harga riil minyak  sawit akan turun menjadi US$ 550 per ton. Kegelapan perkebunan pernah terjadi di sektor kopi dan teh pada akhir 1880-an, gula pada 1930-an, dan karet pada 1960-an.

Harga komoditas cenderung turun. Bank Dunia meramal jika tahun 2025 harga riil minyak sawit akan turun menjadi US$ 550 per ton (gambar:bumn.go.id)
Harga komoditas cenderung turun. Bank Dunia meramal jika tahun 2025 harga riil minyak sawit akan turun menjadi US$ 550 per ton (gambar:bumn.go.id)
Perkembangan luas areal perkebunan besar juga hanya terjadi pada kelapa sawit. Perkembangan luas areal untuk komoditas lainnya menyusut.Penurunan harga komoditas ini akan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kemiskinan dan keterbelakangan.Sebagai catatan, penurunan  terjadi pada komoditas primer dan bukan komoditas olahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun