PERKEBUNAN Indonesia memiliki sejarah panjang. Melalui hasil perkebunan di tanah Jawa, perkebunan kopi menempati urutan penghasil devisa pertama pada era 1800-an. Belanda juga berhasil menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia, menjelang era 1930-an.
Pada awal industrialisasi itulah, model perkebunan besar berkembang pesat. Lahan Indonesia, terutama Jawa, hanya difungsikan sebagai pemasok bahan baku, seperti hasil kopi, kakao, teh, dan karet. Belanda membangun industri hilirnya.
Kondisi ini menyebabkan para pekebun tetap berada posisi yang tidak menguntungkan, meskipun hasil produksi perkebunan baik dengan luas lahan perkebunan yang luas. Kondisinya tidak berubah setelah 100 tahun berlalu, bahkan hingga saat ini.
Pembahasan mengenai situasi perkebunan di Indonesia ini mengemuka dalam diskusi dan konferensi pers bertema Kesuksesan Perkebunan Tanpa Kemajuan Industrialisasi, di gedung Menara 165, Jl TB Simatupang, Selasa 3 Mei 2016 lalu.
Diskusi menghadirkan dua pembicara, yakni Prof. Dr. Ir Agus Pakpahan, APU, Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia dan Dr. MT Felix Sitorus, Sosiolog Agribisnis. Sebelum diskusi, dilakukan peluncuran buku berjudul Perkebunan Pemerdekaan Indonesia karya Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, APU.
Ir. Heri Moerdiono, MM, pemimpin redaksi Media Perkebunan menyatakan, jika buku setebal 157 halaman terbitan April 2016 ini, merupakan kumpulan tulisan pemikiran Agus Pakpahan selama tiga tahun, mulai tahun 2013-2016, di rubrik Teropong, Media Perkebunan, media terbitan Departemen Pertanian.
Dr. Dwi Pratomo Sujatmiko, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian mengatakan, perkebunan memiliki peran untuk memajukan perekonomian nasional, seperti meningkatkan penerimaan negara, mengentaskan kemiskinan, menyejahterakan bangsa, menyediakan bahan pangan dan bahan baku industri.
![Peluncuran buku berjudul Perkebunan Pemerdekaan Indonesia, kumpulan pemikiran Prof. Dr.Ir. Agus Pakpahan, APU (foto:riapwindhu)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/kebun-57332e69117f61ff0847d531.jpg?t=o&v=770)
AGUS Pakpahan, yang juga Dewan Pakar Media Perkebunan mengatakan, makna pemerdekaan dalam perkebunan Indonesia, memiliki pengertian dengan kondisi dan situasi yang menggambarkan kita, apa yang dapat kita lakukan (what people can do or can be). Terutama, makna pemerdekaan seperti yang diamanahkan dalam UUD 45. Agus menekankan pondasi berpikir perkebunan sebagai pemerdekaan dan tidak terjajah.
Perkebunan, menurutnya, merupakan laboratorium sejarah yang penting bagi Indonesia. Pola-pola yang dikembangkan Belanda di bidang perkebunan cukup banyak, mulai dari pengembangan sistem monopoli perdagangan hingga tanam paksa selama 40 tahun di Jawa. Agrarischwet 1870, setelah Terusan Suez dibuka telah mengawali modal asing dari Eropa, Amerika atau Asia masuk ke Hindia Belanda.
Investasi membangun perkebunan di Hindia Belanda dinilai sangat menguntungkan. Perkebunan peninggalan kolonial menciptakan transportasi dari kebun sampai ke pelabuhan, kemudian langsung menuju Holland atau pasar ekspor. Jaringan lokal dibiarkan tertinggal.
![Penulis menyerahkan buku kepada sejumlah peserta diskusi 9foto:riapwindhu)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/kebun7-57332f3783afbd8d1f56bb21.jpg?t=o&v=770)
Stuktur ekonomi dibangun terpisah, yakni struktur ekonomi modern dan struktur ekonomi tradisional untuk pribumi. Pada struktur ekonomi modern, perusahaan besar mendapatkan fasilitas kapital, terutama llahan. Perusahaan besar mendapatkan lahan berstatus HGU, yang sebelumnya sebagai kawasan hutan negara menjadi aset perusahaan, dengan penerbitan Agrarischwet 1870.
Pola penguasaan lahan perkebunan yang telah berlangsung selama 100 tahun hingga kini, jelas Agus, tidak akan mendorong perilaku yang mendorong industrialisasi berbasis komoditas perkebunan. Hal ini dilandasi data sejarah yang tidak menunjukkan bukti membangun industri hilir.
Kenapa? Karena pada saat yang sama, tanah negara dapat dikatakansebagai tanah privat. Tanah negara beralih menjadi kekayaan atau aset korporasi, pada saat berubah menjadi hak guna usaha (HGU). Korporasi mendapatkan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang biayanya hanya 5 % dari NJOP.
Padahal, lanjut Agus, nilai NJOP lahan yang berada di tengah hutan sangat kecil. Bahkan tidak punya harga karena tidak diperjualbelikan dan pasarnya tidak ada. Dengan satu periode HGU 35 tahun saja, misalnya, baru akan berakhir pada tahun 2048.
![Perkebunan Pemerdekaan Indonesia, kumpulan pemikiran Prof. Dr. Ir Agus Pakpahan mengenai kondisi perkebunan dan komoditasnya di Indonesia (foto:riapwindhu)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/kebun5-5733304fc4afbdc824bbe209.jpg?t=o&v=770)
Nilai aset jika telah menjadi perkebunan ini membuat keengganan untuk berepot-repot membangun industri hilir. Apalagi, hak pakai bisa diperpanjang. Padahal industrialisasi kunci utama untuk membangkitkan nilai tambah perkebunan.
Senada, Dr. MT Felix Sitorus, Sosiolog Agribisnis menyayangkan nasib Indonesia pada 35 tahun mendatang jika hal ini terus berlangsung. Perusahaan besar perkebunan ada tetapi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan pekebunnya.
Harga Komoditas yang Terus Menurun
Harga komoditas perkebunan cenderung menurun di pasar internasional. Indonesia perlu bersiap-siap untuk mengantipasi realitas perkebunan yang semula gemerlap menjadi gelap. Khususnya, kelapa sawit. Bank Dunia telah meramal jika tahun 2025 harga riil minyak sawit akan turun menjadi US$ 550 per ton. Kegelapan perkebunan pernah terjadi di sektor kopi dan teh pada akhir 1880-an, gula pada 1930-an, dan karet pada 1960-an.
![Harga komoditas cenderung turun. Bank Dunia meramal jika tahun 2025 harga riil minyak sawit akan turun menjadi US$ 550 per ton (gambar:bumn.go.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/sawitbumngoid-5733318483afbd941f56bb35.jpg?t=o&v=770)
Kesenjangan antara pekebun dengan perusahan pengolah hasil pekebun semakin melebar. Kesenjangan ini yang menjadi penyebab utama terjadinya permasalahan di perkebunan atau pedesaan, termasuk kerusakan lingkungan hidup dan konflik sosial.
Belajar dari Negara Lain
PERKEBUNAN Indonesia saat ini tertinggal dari negara lain. Tidak ada salahnya untuk belajar dari negara lain. Amerika Serikat banting setir pada pertengahan tahun 1970-an, Amerika karena menurunnya harga gula.Bila semula bertumpu pada pasokan gula impor, Amerika mengembangkan bahan pemanis, yang dibuat dari jagung (High Fructose Corn Syrup).
Hal ini mengurangi Amerika mengimpor gula sebanyak 4 juta ton dari negara berkembang. Hingga kini, Amerika Serikat merajai produk HFCS dan semakin unggul dengan dibudidayakannya jagung transgenik sejak tahun 1996.
![Naiknya harga gula membuat sejumlah negara melakukan tindakan mengatasinya, seperti Brazil dengan membangun industri gula (sumber:tribunnews.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/tribunnewsgula-57333289139373330bcbf946.jpg?t=o&v=770)
Tahun 1970-an, Thailand pun membangun industri gula baru yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta. Industri gula berbasis tebu hasil petani. Thailand berhasil dalam industrialisasinya sehingga mampu ekspor. Konsumsi domestik gula hanya 1/3 saja dari produksi nasionalnya.
Keberhasilan RRC untuk keluar dari masalah kelaparan adalah dengan mengembalikan pertanian sistem komunal ke sistem insentif rumah tangga, melalui reformasi agraria. Perubahan ini disimultankan dengan membangun sektor keuangan, industri, dan jasa sehingga mampu mendorong dan meningkatkan produksi pangan, serta pertanian RRC. Indonesia bahkan mengimpor beras dan komoditas pertanian lain dari RRC, padahal jumlah penduduk RRC, lima kali lebih banyak dari penduduk Indonesia.
![kopi adalah salah satu komoditas andalan di Indonesia, yang masih dibutuhkan oleh dunia dan berpeluang ekspor (gambar:tribunnews.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/tribunnewskopi-573333776423bd4509bfc347.jpg?t=o&v=770)
Malaysia sangat memperhatikan riset pertaniannya, dengan menyediakan anggaran yang lebih tinggi dibandingkan anggaran riset pertanian per kapita Amerika Serikat. Jumlah peneliti petanian pun lebih banyak daripada di Indonesia.
Perkebunan Kelapa sawit Indonesia terluas di dunia dengan luas areal sekitar 9 juta hektar dan dimiliki para konglomerat Indonesia. Sayangnya, R&D kelapas sawit lemah. Produk akhir yang diekspor dari Kelapa sawit masih berupa minyak mentah.
Pada tahun 2012, jumlah penerbitan publikasi ilmiah di dunia, Indonesia berada pada urutan ke-63 sedangkan Malaysia pada urutan 42. Di tingkatan ASEAN, jumlah publikasi ilmiah Indonesia berada di bawah Kamboja dan hanya setingkat lebih tinggi dari Myanmar.
![Beras adalah komoditas paling penting di Indonesia. Negara ini memiliki tingkat konsumsi beras yang tinggi (gambar:tribunnews.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/berastribunnews-573334f80323bd6a13e0f0bb.jpg?t=o&v=770)
Untuk memajukan industri teh, CEO Tata Tea memaknai teh bagi India. Teh merupakan simbol kemerdekaan bagi India. Negara ini dianggap telah merdeka perkebunannya karena sudah bisa menjual sendiri tehnya di pasar eropa tanpa melalui broker atau hanya menjual teh di pasar India
Kebijakan Perkebunan Indonesia
Pada tahun 1975, Indonesia membuat keputusan besar dalam bidang pergulaan, yakni dengan ditetapkannya Inpres No. 9 tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi. Inpres yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu, peningkatan produksi gula, dan mencapai swasembada gula konsumsi rumah tangga.
![Teh merupakan simbol kemerdekaan bagi India. Negara Indonesia dapat belajar pemerdekaan komoditas teh dari negara ini (gambar:bisnis.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/tehbisnis-573335626423bd4909bfc347.jpg?t=o&v=770)
Konsep pembangunan perkebunan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada tahun 1980 tidak bisa membuat petani peserta PIR mengembalikan pinjaman. Pekebun Kelapa Sawit meski dapat mengembalikan hutang tetapi kesulitan untuk penanaman ulang.
Perkebunan Menyatukan Bangsa
Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat abad ke-16, menyatakan bahwa pertanian adalah sarana saling bertemu, saling bersaudara. Pertanian yang memajukan Amerika. Pertanianlah yang menyatukan Amerika. Pertanian melahirkan persaudaraan dan persahabatan.
![Pertanian adalah penentu kemerdekaan.(sumber:pertanian.go.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/pertaniangoid-573336bbcd92735d0b9f4905.jpg?t=o&v=770)
Di Jepang, Kaisar Tokugawa pada tahun 1600-an melakukan reformasi masyarakat Jepang. Kaum petani ditempatkan pada lapisan kedua setelah samurai, setelah itu industriawan (III) dan pedagang (IV). Tokugawa memandang jika ketahanan nasional akan lemah apabila petaninya lemah. Untuk itu, kesejahteraannya dan statusnya lebih dulu ditingkatkan.
Presiden Soekarno pada peletakkan batu pertama Fakultas Pertanian IPB tahun 1962 mengatakan, pangan rakyat adalah soal hidup dan mati bangsa. Kelaparan, kemiskinan, ketertinggalan atau bentuk kondisi sosial ekonomi lainnya, yang senada merupakan bentuk ketidakmerdekaan. Pertanian adalah penentu kemerdekaan.
Langkah yang Perlu Dilakukan
LAHAN adalah inti untuk membangun ruang perkebunan yang bisa memberikan kontribusi terwujudnya Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Perlu menghadirkan format baru penguasaan lahan perkebunan oleh perusahaan besar perkebunan.
![Indonesia merupakan salah satu penghasil karet terbesar di dunia setelah Thailand, kemudian Vietnam dan Malaysia (gambar:karetkemenperin.go.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/karetkemenperin-573337266423bd4709bfc35b.jpg?t=o&v=770)
Hal yang terakhir ini sejalan dengan amanah UU Pokok Agraria yang menyatakan semua tanah memiliki fungsi sosial. Selain tentunya mengacu pada pasal 33 (3) yang menyatakan bahwa “Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Meski demikian, Franklin D Rooosevelt mengingatkan fenomena The Forgotten Man pada pekebun.Hasil keringat dan perjuangan hidup pekebun telah memberikan banyak kenikmatan hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat di negara maju, kalangan menengah ke atas.
![Lebih tahu mengenai perkebunan Indonesia dari buku Perkebunan Pemerdekaan Indonesia (foto:riapwindhu)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/11/kebun4-5733380770977313099c3c06.jpg?t=o&v=770)
- Dukungan kemudahan dari pemerintah
Kesulitan petani adalah hasil usaha perkebunan selama ini tidak cukup untuk diinvestasikan dalam kebun baru. Di sisi lain, modal baru dari pihak lain, misalnya bank tidak diperoleh. Masih ditambah lagi dengan tetap dikenakannya biaya ekspor saat harga sedang turun. Para petani perlu difasilitasi perbankan
- Pentingnya Riset and Development (R&D)
R&D harus dipersiapkan sekarang.Dilihat sebagai kegiatan untuk menjawab tantangan permasalahan masa depan dan suatu investasi. Sistem akuntansi perkebunan belum menggunakan paham jika R&D merupakan kegiatan investasi.
Jika dianggap investasi, diharapkan ada keringanan bea masuk, pajak, dan lainnya yang bersifat menurunkan biaya R&D. Terbentuknya PT. Riset Perkebunan Nusantara (RPN), yang semula Lembaga Riset Perkebunan Indonesia diharapkan dapat menjadikan bidang perkebunan lebih maju.
- Perlu dilakukan koordinasi antara organisasi pekebun dan organisasi perusahaan besar. Perusahaan besar umumnya memaksimumkan keuntungan, sebelum sisanya untuk pekebun. Kemajuan organisasi petani perkebunan tidak akan terlepas dari kemajuan perusahaan perkebunan sehingga diperlukan kerjasama.
- Industrialisasi berbasis perkebunan
Penguasaan lahan yang sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, membangun industri hilir, dan mencari model perkebunan yang tepat, misalnya penyempurnaan PIR. Komoditas dapat berkembang baik dengan adanya industrialisasi perkebunan. (dhu)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI