Kamu bilang, apa pun bentuknya, harus disyukuri sebagai ucapan terima kasih. Suatu anugrah Tuhan jika seluruh anggota keluarga bisa berkumpul di hari Natal.
****
SAYANGNYA aku pun seperti diingatkan jika semua ini sudah sepuluh tahun lalu. Kamu sudah tidak bekerja lagi di perusahaan yang sama denganku.
Meski demikian, komunikasi kita tak pernah putus. Kita tak pernah bertemu namun sarana sosial media, facebook dan telepon tetap menyatukan. Kamu masih sering bercerita mengenai aktivitasmu.
Hingga suatu sore kamu datang ke kantor. Kamu menawarkan sebuah program perencanaan pensiun. “Aku ingin masa tuamu terjamin dan nggak susah,” katamu.
Aku tertawa meski kemudian ternyata aku memang tidak bisa menolak untuk menjadi nasabahmu. Dengan menjadi nasabahmu, kita semakin dekat. Apalagi yang tidak kamu ketahui tentang aku, Rani?
Senja itu, aku senang sekali berjumpa denganmu lagi secara nyata setelah bertahun-tahun. Aku rela menunggumu di pelataran masjid saat kamu berkata hendak menunaikan shalat. “Tunggu aku shalat. Jika terlalu lama, kamu boleh pergi lebih dulu.”
Kenyataannya, aku tidak meninggalkanmu. Kita makan malam bersama dan saling bercerita banyak.Hingga entah mengapa, aku merasa sangat rindu kepadamu malam itu. Di ruang kantor yang sepi saat malam, aku tak bisa menahan diri untuk merengkuh tubuhmu dan mendekapmu sangat erat. Kamu diam saja. Tidak membalas dan juga tidak mengelak.
Hanya sebentar. Ya,tidak lama. Aku terlampau menyayangimu. Aku tidak akan dan tidak bisa menyakitimu. Aku segera mengurai dekapanku. Aku tahu kamu tidak akan bisa melepaskan pelukanmu karena tubuhmu yang kecil dan mungil benar-benar ada dalam dekapan tubuhku yang tinggi dan besar.
Sesudahnya, kita sama-sama diam. Kita tak pernah membahas lagi peristiwa itu. Peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam sepuluh tahun perkenalan kita. Hanya sebentar namun selalu mampu membangkitkan ingatan.