Mohon tunggu...
riap windhu
riap windhu Mohon Tunggu... Sales - Perempuan yang suka membaca dan menulis

Menulis untuk kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Aku Untuk Kamu, Kamu Untuk Aku

2 Oktober 2015   21:05 Diperbarui: 2 Oktober 2015   21:05 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

                                                                                                                                                                                                    

Riap Windhu, No : 082

----------------------------

SETIAP senja datang, aku masih mengingat kemunculanmu yang tiba-tiba.

“Raka, lihat senja, yuk…,” ajakmu spontan.

Aku memandangmu. Aku karyawan baru kala itu. Entah mengapa, bagai terbius aku ikut menyaksikan senja luruh di langit Jakarta secara perlahan.

Aku masih ingat kehadiranmu di ruanganku. “Lebih adem. Boleh ya disini? “ Sebentar kemudian kamu terlelap di sudut ruang sehingga mengundangku untuk menjagamu.

Aku pun ingat saat kamu dengan wajah kuyu berkata,” Aku mau cerita.” Kamu tak ragu bercerita dan aku tak keberatan mendengarkan..

Aku juga ingat saat kau melihat foto-foto keluargaku. Kamu tersenyum saat mengetahui aku adalah satu-satunya anak lelaki, yang lahir sebagai si bungsu, setelah enam kakak perempuanku.

Ya, aku pastinya selalu ingat saat kamu menasihatiku untuk tidak membanding-bandingkan kado Natal yang kuterima dengan kado Natal yang kuberikan pada kakakku, yang kuanggap sama sekali tidak sepadan nilai dan harganya.

Kamu bilang, apa pun bentuknya, harus disyukuri sebagai ucapan terima kasih. Suatu anugrah Tuhan jika seluruh anggota keluarga bisa berkumpul di hari Natal.

 

****

SAYANGNYA aku pun seperti diingatkan jika semua ini sudah sepuluh tahun lalu. Kamu sudah tidak bekerja lagi di perusahaan yang sama denganku.

Meski demikian, komunikasi kita tak pernah putus. Kita tak pernah bertemu namun sarana sosial media, facebook dan telepon tetap menyatukan. Kamu masih sering bercerita mengenai aktivitasmu.

Hingga suatu sore kamu datang ke kantor. Kamu menawarkan sebuah program perencanaan pensiun. “Aku ingin masa tuamu terjamin dan nggak susah,” katamu.

Aku tertawa meski kemudian ternyata aku memang tidak bisa menolak untuk menjadi nasabahmu. Dengan menjadi nasabahmu, kita semakin dekat. Apalagi yang tidak kamu ketahui tentang aku, Rani?

Senja itu, aku senang sekali berjumpa denganmu lagi secara nyata setelah bertahun-tahun. Aku rela menunggumu di pelataran masjid saat kamu berkata hendak menunaikan shalat. “Tunggu aku shalat. Jika terlalu lama, kamu boleh pergi lebih dulu.”

Kenyataannya, aku tidak meninggalkanmu. Kita makan malam bersama dan saling bercerita banyak.Hingga entah mengapa, aku merasa sangat rindu kepadamu malam itu. Di ruang kantor yang sepi saat malam, aku tak bisa menahan diri untuk merengkuh tubuhmu dan mendekapmu sangat erat. Kamu diam saja. Tidak membalas dan juga tidak mengelak.

Hanya sebentar. Ya,tidak lama. Aku terlampau menyayangimu. Aku tidak akan dan tidak bisa menyakitimu. Aku segera mengurai dekapanku. Aku tahu kamu tidak akan bisa melepaskan pelukanmu karena tubuhmu yang kecil dan mungil benar-benar ada dalam dekapan tubuhku yang tinggi dan besar.

Sesudahnya, kita sama-sama diam. Kita tak pernah membahas lagi peristiwa itu. Peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam sepuluh tahun perkenalan kita. Hanya sebentar namun selalu mampu membangkitkan ingatan.

 

****

MALAM ini, aku kembali mengingatmu saat dalam acara keluarga,di depan seluruh anggota keluarga, ayah tiba-tiba menanyakan kapan aku hendak menikah. Ibu sudah tiada dan ayah ingin melihatku segera menikah. Usiaku sudah sangat pantas untuk menikah Sudah berada di pertengahan usia kepala tiga.

”Apalagi yang kamu tunggu, Raka? Kamu sudah bekerja. Umurmu sudah cukup. Kamu satu-satunya anak lelaki ayah,” ucap ayah.

Muslihat dan upaya ayah dan keluargaku mencarikan perempuan untukku sangat kuingat. Saat pulang kampung, ayah dan kakakku tiba-tiba saja memperkenalkan aku dengan seorang perempuan sebagai calon istriku. Sebagai lelaki, aku sangat marah dan pergi meninggalkan mereka saat itu juga.

Kamu hanya terdiam mendengar ceritaku ini. Kamu tahu aku cuma untukmu, Rani

 

****

SEPULUH tahun sudah berlalu. Kedekatan kita bertambah meski masih begitu-begitu saja. Aku senang kamu selalu rela mendengarkan cerita-ceritaku, Raka. Aku juga tahu kamu selalu bersedia membantu saat dibutuhkan, kapan pun itu. Handphonemu selalu aktif bahkan dini hari sekalipun.

Sebagai perempuan yang usianya semakin bertambah, aku pun kerap ditanya oleh keluargaku, Kapan kamu menikah, Rani? Aku hanya lebih muda tiga tahun darimu. Sudah sepantasnya.

Namun dekapan sesaatmu pada malam itu selalu membuai ingatanku. Kenapa aku tidak mampu menolak ? Aku masih merasakan kehangatan sekejap itu. Dalam hati, sesungguhnya malah ingin memelukmu erat lebih lama meski akhirnya hanya mampu terpaku dan terdiam.

Apalagi yang tidak kuketahui tentang dirimu? Seperti katamu, aku sudah tahu segalanya tentangmu. Aku tahu keinginanmu, mimpi-mimpimu, teman-temanmu, pekerjaanmu, keluargamu, ayahmu, bahkan jumlah gajimu yang kau terima setiap bulan.

Namun, aku pun juga sangat tahu jika kita tidak pernah sama. Sejak sepuluh tahun lalu, aku tahu kamu akan sangat bahagia saat Desember datang dan bercerita kesibukan menghias pohon natal. Saling berbagi kado natal di antara anggota keluarga.

Sementara saat lebaran tiba, aku juga memiliki kebahagiaan yang sama. Menyiapkan ketupat dan penganannya. Melaksanakan shalat hari raya dan sungkeman. Mengunjungi kerabat dengan penuh sukacita hari kemenangan dalam alunan takbir.

Aku yakin kamu pun telah mengetahui tentang diriku secara utuh. Kamu tahu kalau aku memang untukmu, Raka.

 

***

SEORANG lelaki dan seorang perempuan. Keduanya sama-sama saling mengetahui dan sama-sama saling mengingat semua yang telah mereka lakukan bersama. Siapa pun yang mengenal keduanya akan mengatakan jika lelaki dan perempuan ini sangatlah cocok.

Seorang lelaki pendiam penuh pertimbangan dan seorang perempuan supel periang. Keduanya saling melengkapi dan saling berbagi sejak sepuluh tahun lalu meski tidak pernah ada ucapan kata cinta.

Keduanya sama-sama tahu jika ada benteng tinggi yang membatasi mereka. Benteng yang membuat keduanya selama ini seperti sepasang sepatu yang selalu bisa beriringan tapi tak bisa menyatu. Keduanya juga sama-sama tahu usia mereka semakin bertambah sejalan dengan waktu.

Raka dan Rani sama-sama menatap senja hari ini, dari tempat yang berbeda, keduanya memutar sebuah lagu yang sama. Sebuah lagu milik Marcel yang mengalun perlahan mewakili ungkapan pernyataan cinta.

 Aku untuk kamu, kamu untuk aku

Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda

Tuhan memang satu, kita yang tak sama

Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

Bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan

tuk menjaganya sepenuh jiwa

 

*** Jakarta, 2 Oktober 2015 ****

 

- Untukmu, untukku…

- gambar : pinterest

 

- NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

http://www.kompasiana.com/androgini

 

- Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

https://www.facebook.com/groups/175201439229892/

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun